• About
  • Privacy Policy
  • Disclaimer
  • Contact

College Education

  • Home
  • Info
  • Blogging
  • Downloads
    • Software
    • Games
  • Template Blog
  • Hacking
  • Tech
Home → Arsip Untuk 2015

Kedudukan PKN dalam Sistem Pendidikan Nasional

Unknown
Add Comment
11:44

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Rasional Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi
Embrio konsepsi (pemikiran) mengapa Pendidikan Kewarganegaraan diberikan di perguruan tinggi semata-mata diupayakan dalam menjawab tantangan regenerasi, yaitu suatu proses penyiapan generasi muda yang pada gilirannya akan mengganti tampuk kepemimpinan nasional.
Kendatipun demikian, proses regenarasi tidaklah segampang seperti yang kita bayangkan. Dia lebih tampak berjalan dalam proses alamiah yang persiapannya memerlukan waktu yang relatif tidak singkat. Hal itu disebabkan karena konsep regenarasi tidak sekadar upaya penyiapan kepemimpinan secara biologis (perkembangan fisik dan usia), melainkan lebih ditekankan pada proses penyiapan mentalitas generasi muda yang benar-benar mampu memimpin bangsa ini, mengganti para generasi pendahulunya.
Sebagai rasional, penetapan Pendidikan Kewarganegaraan diberikan di perguruan tinggi, didasarkan pada tingkat perkembangan kepribadian mahasiswa yang secara kualitas dapat diamati dalam kehidupan mereka. Ada perbedaan penampilan sebagai cerminan kepribadiannya, antara yang ditampilkan oleh mahasiswa dengan penampilan pemuda lain, katakanlah pelajar. Apabila dilihat dari pola pikirnya, kedua kelompok pemuda itu sama-sama memiliki daya kritis, Namun demikian, sifat kekritisan mereka tampak ada perbedaan. Sifat kritis yang ditampilkan oleh pelajar masih cenderung ke arah kritis yang emosional, sedangkan mahasiswa telah mampu menampilkan pola pikir yang bersifat kritis yang rasional.
Dengan mengandalkan kemampuan penalarannya, mahasiswa dipandang telah mampu menyelesaikan segala persoalan yang timbul dalam kehidupannya. Ini pun muncul sebagai suatu kewajaran karena kehidupan mahasiswa paling tidak didukung oleh lingkungan dimana mereka hidup, yakni dalam masyarakat kampus sebagai masyarakat ilmiah dan berada di dalam naungan perguruan tinggi sebagai lembaga ilmiah. Itulah sebabnya, mahasiswa diprediksi lebih mampu mengeksprisikan diri untuk berpikir ilmiah daripada generasi pemuda yang lain.
Dengan demikian, pilihan Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi bukanlah sekedar retorika, akan tetapi memang benar-benar didasarkan totalitas kepribadian yang melekat pada diri mahasiswa yang dipandang layak dalam mendukung upaya percepatan program regenerasi.

B.  Kedudukan Matakuliah Pendidikan Kewarganegaraan dalam Kurikulum Perguruan Tinggi
Sebagaimana diketahui, Pendidikan Kewarganegaraan termasuk sebagai matakuliah Pengembangan kepribadian (MPK)di samping matakuliah-matakuliah pengembangan kepribadian yang lain yang lain, seperti Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama,dan Bahasa Indonesia Keilmuan.
Dalam kaitan itu, bersama dengan matakuliah dasr umum yang lain Pendidikan Kewarganegaraan bertugas memberikan bekal dasar kepada mahasiswa tentang seperangkat pengetahuan mengenai hubungan antara negara dengan warga negara dan pengetahuan pendidikan pendahuluan bela negara (PPBN), terutama yang berkaitan dengan wawasan berpikir nasional, kesadaran moralnya terhadap pertahanan dan keamanan nasional. Tugas yang demikian dirasakan sangat berarti, karena aspek kehidupan nasional dan keamanan berhubungan langsung dengan kehidupan manusia. Begitu persoalan keamanan mulai muncul maka getarannya tidak saja menyusup dalam segala aspek kehidupan bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, sebagai bagian dari matakuliah dasar umu, Pendidikan Kewarganegaraan tidaklah bekerja sendirian. Dalam kaitan ini, Pendidikan Kewarganegaraan harus mampu berdialog dengan matkuliah-matkuliah pengembangan kepribadian yang lain dalam memberikan bekal dasar kepada mahasiswa yang latar belakang disiplin ilmunya berbeda-beda. Diantara matekuliah-matakuliah pengembangan kepribadian, pada dasarnya harus terjadi saling komunikasi yang bersifat timbal balik, yang masing-masing diharapkan mampu brjalan sejajar tanpa ada maksud untuk meninggalkan satu diantara yang lain.

C.  Kedudukan Pendidikan Kewarganegaraan dalam Sistem Pendidikan Nasional
Pendidikan sering diartikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasa, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara (Pasal 1 UU No. 20 tahun 2003 tetnang Sistem Pendidikan Nasional). Oleh karena itu, pendidikan nasional Indonesia hendaknya berakar pada budaya bangsa yang berdasarkan Pancasila (sebagai falsafah dan pandangan hidup) dan UUD 1945 (sebagai konstitusi negara). Perbedaan kepribadian, falsafah, dan pandangan hidup bangsa dan konstitusi yang digunakan akan mewarnai perbedaan pendidikan nsional yangdiselenggarakan pada suatu negara dengan negara lain.
Selanjutnya, pendidikan nasional Indonesia yang berlandaskan Pancasila pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yang memiliki atribut, antara lain: beriman dan bertakwa terhadap Tuha Ynag Maha Esa, budi pekerti yang luhur, berkepribadian, disiplin, kerja keras, tangguh, bertanggung jawab, mandiri, cerdaas dan terampil, sehat jasmani dan rohani. Selain itu, secara kualitatif, lewat pendidikan nasional diharapkan warga negara memiliki kesadaran cinta tanh airnya, tebal semngat kebangsaan, tinggi rasa kesetiakawanan sosial, percaya pada diri sendiri, inovatif dan kreatif, mampu membangun diri sendiri dan bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan negara dan bangsa.
Dalam kaitan itu, sistem pendidikan nasional adalah suaru keseluruhan yang terpadu dari semua satuan dan kegitan pendidikan yang berkaitan antara yang satu dengan yang lain untuk mengusahakan tercapainya tujuan pendidikan nasional.

D.  Komponen Sistem Pendidikan Nasional
Sebagai suatu sistem, pendidikan nasional harus dioperasika secara sistemik dengan menginteraksikan nilai fungsional yang melekat pada masing-masing komponen yang berada di dalamnya. Komponen-komponen sistem pendidikan nasional yang dimaksud adalah sebagai berikut.
1.    Komponen Ideologis (Pancasila)
Pancasila adalah dasar negara, ideologi negara dan bangsa, kepribadian, serta pandangan hidup bangsa yang mampu mengantarkan dan memberi corak kehidupan bangsa Indonesia dalam mencapai tujuan hidupnya. Dalam rangka ini, garapan pendidikan nasional Indonesia hendaknya diberi motivasi atas dasar ideologi Pancasila, baik sebagai ideologi negara maupun kepribadian bangsa.
Menempatkan Pancasila sebagai landasan dalam penyelenggaraan sistem pendidikan nasional berarti bangsa Indonesia telah memetakan penyelenggaraan pendidikan nasional itu memiliki karakteristik berbeda dengan pendidikan nasional yang ditetapkan di negara lain. Hal itu mengisyaratkan bahwa pendidikan nasional Indonesia harus diberi label kepribadian bangsa yaitu Pancasila.
2.    Komponen Konstitutif (UUD 1945)
Sebagai kerja nasional, pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan rakyat Indonesia harus memiliki sandaran konstitusi (hukum dasar). Itulah sebabnya, UUD 1945 sebagai hukum tertinggi di negara kita harus ditempatkan sebagai dasar hukum penyelenggaraan pendidikan nasional di Indonesia. Jika tidak, bisa dikatakan bahwa penyelenggaraan pendidikan sama sekali tidak memiliki kekuatan yuridis dan hukum dasar (inkonstitusional).
Panggilan konstitusi bagi penyelenggaraan pendidikan nsional oleh pemerintah negara Indonesia secara eksplisit dapat digali lewat jiwa Pasal 31 UUD 1945 yang menegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pengajaran. Dengan demikian, UUD 945 memberikan pembenar (justifikasi) secara konstitutif bag penyelenggaraan sistem pendidikan nasional Indonesia.
3.    Komponen Perundangan (UU Nomor 20 Tahun 2003)
Sebagai konsekuensi logis bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran, pemerintah wajib menyelenggarakan sistem pendidikan nasional yang diatur dalam undang-undang. Produk perundangan yang dimaksud adalah UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-undang itu mempunyai kekuatan mengikat bagi siapa saja yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan karena jiwa dari ndang-undang itu memberikan aturan main bagaimana seharusnya praktik pendidikan nasional itu dilakukan.
4.    Komponen Wawasan (Wawasan Nusantara)
Wawasan nusantara adalah cara pandang bandsa Indonesia terhadap diri dan lingkungannya yang seba nusantara, yang berdasarkan Pancasial dan UUD 1945 untuk mencapai tujuan pembangunan nasional dalam rangka mencapai tunuan negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan sistem pendidikan nasional, wawasan nusantara memiliki nilai fungsional, yakni sebagai wawasan nasional dalam memandang persoalan pendidika yang berlaku di seluruh daerah dan masyarakat Indonesia tanpa membedakan kondisi geografis tempat mereka bertempat tinggal. Hal itu menunjukkan bahwa pendidikan nasional haruslah dilaksanakan secara demokratis, adil dan merata yang mampu menembus ke segala lapisan masyarakat sesuai dengan hak-hak pendidikan yang dimiliki oleh setiap warga negara. Dengan wawasan nusantara para penyelenggara pendidikan nasional hendaknya mentadari bahwa virus pendidika nasional yang berdasarkan Pancasila harud mampu tersebar ke seluruh penjuru tandah air Indonesia.
5.    Komponen Peserta Didik (Warga Negara Indonesia)
Sasaran pendidikan nasional ditujukan kepada warga negara Indonesia. Dia adalah peserta didik dalam kerangka sistem pendidikan nasional yang ditempatkan sebagai masukan dasar (raw input) bagi penyelenggaraan sistem pendidikan nasional. Rasionalnya, sesuai dengan jiwa konstitusi, setiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran (Pasal 31 ayat 1 UUD 1945). Persamaan hak untuk mendapatkan pengajaran yang melekat pada diri warga negara Indonesia, hendaknya harus jijadikan komitmen sekaligus solusi oleh pemerintah dan penyelenggara pendidikan terkait serta bersandar pada hak-hak rakyat Indonesia seluruhnya. Itulah ssebabnya, layanan pendidikan kepada warga negara Indonesia harus dimaknai sebagai kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemerintah yang tidak bisa ditawar-tawar bahkan harus diartikan sebagai kebutuhan yang paling mendesak.
6.    Komponen Pelaksana Pendidikan
Boleh jadi, yang paling berkompeten dalam komponen ini terutama pada tataran atas adalah Menteri Pendidikan Nasional dan pada tataran atau lapangan terbawah adalah guru-guru. Sebagai bagian dari eksekutif, Mendiknas akan mengambil kebijakan yang terbaik dalam bidang pendidikan dalam menangkap aspirasi yang telah tercantum dalam UUD 1945 dan yang terkonseptualkan dalam GBHN.
Dalam rangka ini, sebuah kebijakan pendidikan hendaknya diterapkan dengan memperhatikan beberapa pertimbangan antara lain: manusiawi, demokratis, dan memperhatikan prinsip keadilan. Pertimbangan tersebut menjadi penting, karena kebijakan pendidikan harus bersifat jumanistis yang selalu bersandar pada potensi warga negara Indonesia sebagai manusia dan komponen peserta didik. Sementara itu, kebijakan pendidikan yang demokratis digunakan sebagai wacana. Penyelenggaraan pendidika tidak dibenarkan jika bertentangan dengan hak-hak yang melekat pada diri warga negara Indonesia. Dedangkan layanan atas dasar prinsip keadilan mengisyaratkan bahwa setiap kebijakan pendidikan harus menghindarkan perilaku diskriminatif negara (pemerintah), baik dalam penjaringan animo pendidikan maupun rekrutmen peserta pendidikan. Sebuah contoh, kebijakan munculnya sekolah unggulan di Indonesia harus benar-benar mampu mencerminkan ketiga tuntutan di atas yakni humanistik, demokratis dan prinsip keadilan.
Untuk penyelenggara pendidikan tuingkat bawah (guru-guru), mereka merupakan sumber daya manusia yang sangat penting dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Justru guru-guru inilah yang menempati posisi sentral dan sebagai ujung tombak bagi keberhasilan penyelenggaraan pendidikan nasional.
7.    Komponen Institutif (Lembaga Pendidikan)
Institusi pendidikan merupakan sebuah ajang tempat kegiatan pendidika kitu dilaksanakan. Itulah sebabnya, lembaga-lembaga pendidika yang ada, mulai dadri pendidika dasar, pendidikan menengah sampai lembaga pendidika tinggi, hendaknya bernilai fungsional dalam menyiapkan lingkungan belajar yang kondusif bagi terselenggaranya proses pendidikan. Sarana dan prasaran pendidikan harus relatif memadai agar layanan pendidikan dapat dilakukan dengan baik dan nyaman.
Dengan berbagai karakteristik yang melekat pada setiap lembaga pendidikan dalam ketiga jenjang di atas, juga diharapkan mampu bersinergi dalam rangka mempersiapkan warga negara yang andal, yang memiliki wawasan kebangsaan luas, memiliki kesadaran akan cinta tanah air dan bangsanya, tanpa menaggalkan wawasan lokalnya yang tumbuh dan berkembang di daerah mereka bertempat tinggal.
8.    Komponen Instrumental (kurikulum Pendidikan)
Kurikulum pendidikan ibarat menu yang harus diberikan kepada peserta didik. Sebab, dalam kurikulum terkandung seperangkat pengetahuan dan sejumlah pengalaman belajar yang harus disosialisasikan kepada peserta didik. Jika menu pendidikan tidak bergizi, maka akan mempengaruhi output pendidikan yaitu menghasilkan peserta didik yang kurus pengetahuan dan pengalaman. Hasil pendidikan juga akan berpengaruh terhadap kompetensi peserta didik dalam memecahkan masalah-masalah kehidupan dan proses pelibatan dirinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Itulah sebabnya kurikulum pendidikan harus mampu menggambarkan rangkaian perjalanan kehidupan peserta didik mula dari kemampuan awal sampai dengan kompetensi akhir yang didiapat dalam mengikuti proses pembelajaran.
Berkaitan dengan itu isi kurikulum harus disusun sedemikian rupa agar tidak merugikan output pendidikan nasional. Pendekatan-pendekatan materi dalam kurikulum pendidikan harus selalu berorientasi pada pertimbangan kualitas daripada kuantitasnya. Dengan demikian, pengetahuan dan pengalaman yang dipersiapkan dalam kurikulumm mampu membawa peserta didik dalam menatap kehidupan dengan cerah, arif dan bijaksana.

E.  Eksistensi Program Pendidikan Kewarganegaraan dalam Kerangka Kurikulum
Beberapa persoalan yang hendak kita jawab untuk menempatkan Pendidikan Kewarganegaraan meliputi: (1) pendidikan macam apakah Pendidikan Kewarganegaraan itu?, (2) bagaimana posisi programatik Pendidikan Kewarganegaraan terhadap program pendidikan nasional?, (3) adakah signifikansi aspek kurikuler Pendidikan Kewarganegaraan dengan aspek kurikuler yang dikembangkan dalam dunia persekolahan?
1.    Karakteristik Pendidikan Kewarganegaraan
a.    PKn sebagai Pendidikan Nilai dan Moral
Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia selama ini diarahkan pada pembentukan manusia yang berkualitas, yakni manisia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, cerdas, terampil, berbudi pekerti luhur, kreatif, inovatif, dan bertanggung jawab terhadap pembangunan bangsa. Hal ini selaras dengan keberadaan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), yaitu mata pelajaran yang digunakan sebagai wahana mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai luhur dan moral yang berakar pada budaya bangsa Indonesia. Nilai-nilai moral yang luhur tersebut diharapkan dapat diwujudkan dalam bentuk perilaku sehari-hari siswa, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat dan makhluk ciptaan Tuhan YME (Depdiknas, 1999) dalam Pendidikan Kewarganegaraan dalam Konteks Indonesia (Hakim, 2014).
Dalam kaitan itu, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) bertujuan membentuk kepribadian warga negara yang baik selaras dengan jjiwa dan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. PKn harus mampu membekali kompetensi peserta terhadap pengetahuan kewarganegaraan (civic knoeledge), keterampilan kewarganegaraan (civic skils), dan etika atau karakter kewarganegaraan (civic ethic atau civic disposition) (KBK 2011) dalam Pendidikan Kewarganegaraan dalam Konteks Indonesia (Hakim, 2014). Dengan demikian PKn sangat potensial disebut sebagai pendidikan nilai dan moral.
Nila atau dalam bahasa Inggris disebut value, diartikan sebagaiharga, penghargaan, atau taksiran. Maksudnya adalah harga atau penghargaan yang melekat pada suatu obyek. Obyek yang dimaksudkan di sini bisa berbentuk benda, barang, keadaan, perbuatan, perilaku, peristiwa. Dengan demikian seseorang dapat berbicara tentang nilai sebuah rumah, nilai dari sebuah tanda penghargaan, nilai dari kehadiran seorang pemimpindi tengah-tengah rakyatnya, nilai dari peristiwa pembakaran pencuri sepeda motor yang tertangkap, nilai dari penyerangan para pejuang di markas tentara kolonial.
Manusia dalam hubungannya dengan sesama, dan alam semesta, selalu mengadakan penilaian. Sikap menilai dari manusia terhadap segala sesuatu yang ada di sekitarnya, baik materiil (jasmaniah) maupun spiritual (rohaniah) selalu dihubungkan dengan kemanfaatan atau kegunaan dari segala sesuatu bagi manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Penilaian adalah suatu sikap manusia yang didorong oleh aspek-aspek yang terdapat di dalam dirinya, yakni aspek rasio (cipta), rasa, karsa dan budi nurani.
Menurut Widjaja (1985) dalam Pendidikan Kewarganegaraan dalam Konteks Indonesia (Hakim, 2014) menilai berarti menimbang yaitu kegiatan membandingkan antara sesuatu yang lain (sebagai standard) untuk selanjutnya mengambil keputusan. Keputusan itu dapat berarti baik atau buruk, benar atau salah, indah atau tidak indah, berguna atau tidak berguna.
Nilai adalah sesuatu yang abstrak, bukan sesuatu yang kongkrit, yang hanya bisa difikirkan, dipahami, dan dihayati. Nilai berkaitan dengan cita-cita, harapan, keyakinan dan hal-hal lain yang bersifat batiniah. Nilai adalah suatu kualitas, bukan kuantitas. Nilai adalah sesuatu yang bersifat ideal, bukan faktual. Nilai berkaitan dengan das sollen (apa yang seharusnya), bukan das sein (apa yang senyatanya), (Muchson, 2002) dalam Pendidikan Kewarganegaraan dalam Konteks Indonesia (Hakim, 2014).
Sedangkan kata moral, sebagaimana dalam kamus besar Bahasa Indonesia (1989), yang menjelaskan kata moral sebagai sininim dengan akhlak, budi pekerti, atau susila. Menurut Wijaya, (1985), moral adalahajaran baik dan buruk tentang perbuatan atau kelakuan (akhlak). Sementara itu menurut Ghazali (1994), akhlak (sabagai padanan kata moral) adalah perangai, watak, atau tabiat yang menetap kuat dalam jiwa manusia dan mer5upakan sumber timbulnya perbuatan tertentu secara mudah dan ringan, tanpa dipikirkan atau direncanakan sebelumnya. Rumusan lain tentang pengetian moral adalah views about good and bad, right and wrong, what ought or ought not to do...(Djahiri, 1992).
Konsep moral tidak dapat dilepaskan dengan nilai. Keduanya merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan, apalagi dalam konteks pendidikan. Berbicara tentang perilaku baik atau tidak baik, manusia bermoral, ajaran baik dan buruk, tidak dapat dilepaskan dari norma dan nilai sebagai kriteria untuk mengidentifikasi perilaku manusia yang baik dan tidak baik.
Nilai merupakan sesuatu yang paling dasar, sesuatu yang bersifat hakiki, esensi, intisari, atau makkna yang terdalam (Muchson, 2002). Sebagaimana telah dikemukakan, nilai adalah sesuatu yang abstrak, yaagn berkaitan dengan cita-cita, harapan, keyakinan, dan hal-hal yang bersifat ideal. Agar hal-hal yang bersifat abstrak itu menjadi konkrit, dan apa yang menjadi harapan itu menjadi kenyataan, maka diperlukan formulasi yang lebih kongkrit dari nilai itu berwujud norma dengan berbagai jenisnya.
Norma yang berisi perintah atau larangan, didasarkan pada suatu nilai yang dihargai atau dijunjung tinggi, karena dianggap baik, benar, bermanfaat bagi manusia dan lingkungan masyarakat. Dengan demikian, hubungan antara nilai dengan norman dapat dinyatakan bahwa nilai merupakan sumber dari suatu norma. Norma adalah aturan-aturan atau standar penuntun tingkah laku agar harapan menjadi kenyataan. Agar lebih jelas dapat dicontohkan bahwa kejujuran merupakan suatu nilai dan anjuran membuang sampah di tempat sampah merupakan suatu norma (Muchson, 2002). Sedangkan bilamana membuang bungkus permen di sembarang tempat (moral), berarti melanggar norma kesusilaan, serta melanggar nilai kebersihan.
Adapun moral dalam pengertian sikap dan perbuatan yang baik, akhlak, budi pekerti, watak, atau tabiat adalah perwujudan dari suatu norma. Perlu dikemukakan kembali bahw moral juga dapat dipahami dalam tataran nilai, sehingga disebut nilai moral, serta dapat pula sipahami dalam tataran norma, sehingga disebut norma moral. Dengan dimikian secara hirarkis dapat dikemukakan bahwa nilai merupakan landasan norma, selanjutnya norma menjadi dasar penuntun dari moral atau sikap dan perbuatan yang baik (Rochmadi, 2008) dalam Pendidikan Kewarganegaraan dalam Konteks Indonesia (Hakim, 2014).
b.   Pendidikan Kewarganegaraan sebagai pendidikan untuk menjadi (educational for becoming)
Persoalan dilematis yang dihadapi Pendidikan Kewarganegaraan sebagai pendidikan untuk menjadi, eksistensinya berhadapan pada tiga masalah yakni: sebagai pendidikan nilai, pendidikan moral, dan pendidikan budi pekerti. Dalam kaitan itu, fungsi ketiga pendidikan tersebut mutlajk diperlukan bagiPendidikan Kewarganegaraan. Ketiganya mengundang persoalan tersendiri bagi Pendidikan Kewarganegaraan untuk bisa berkiprah dalam dunia pendidikan dan pengajaran di negara kita.
Berkaitan dengan ketiga masalah tersebut bisa jadi timbul suasana tarik-menarik antara bidang studi dalam berebut kapling pendidikan dan pengajaran yang pada gilirannya tidak akan menguntungkan bagi peserta didik. Yang pasti kesadaran akan pendidikan nilai, moral, dan budi pekerti mutlak diperlukan dalam menempatkan Pendidikan Kewarganegaraan dalam kerangka pikir nasional.
Megatrens kehidupan yang ingin dikembangkan oleh bangsa dan negara Indonesia ddewasa ini antara lain dipusatkan pada persoalan demokratisasi, supremasi, dan kepastian hukum serta merebaknya isu tentang hak-hak asasi manusia. Ketiga persoalan bangsa dan negara tadi diharapkan mampu membantu menemukan jati diri dan sekaligus mengangkat martabat bangsa dan negara Indonesia dalam konstelasi bangsa-bangsa di dunia.
Pendidikan Kewarganegaraan hendaknya juga memgokuskan ruan geraknya pada sekitar trens di atas, dengan orientasi garapannya sebagai laboratorium demokrasi. Dengan orientasi itu, Pendidikan Kewarganegaraan akan diharapkan mampu menggidik persoalan kedaulatan rakyat yang senada dengan posisi negara Indonesia sebagai negara demokrasi. Dari sini dapat dijabarkan, terutama dalam menangakap sebuah fenomena sikitar hak dan kewajiban warga negara dan negara, terutama dalam bidang politik konstirusi dan konteks sosial pada umumnya yang berlangsung secara empirik yang dialami oleh warga negara.
Sebagai laboratorium demokrasi, Pendidikan Kewarganegaraan tidak saja terbatas pada ruang gerak yang bersifat normatif, akan tetapi juga persoalan praktik hak dan kewajiban yang terjadi dalam kehifupan yang bersifat empirik. Dengan demikian, Pendidikan Kewarganegaraan tidak saja mampu menangkap fenomena yang seharusnya akan tetapi juga fenomena yang senyatanya. Realitas penenrapan hak dan kewajiban yang berkemkbang dalam kehidupan akan dibahas secara akademik ilmiah dengan menggunakan rujukan konstitusi sebagai norma tertinggi bagi bangsa dan negara. Selanjutnya. Informasi tentang pelaksanaan hak dan kewajiban yang berdasarkan kriteria konstirusi digunakan referensi etika moral negara dan warga negara yang kemkudian diaplikasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Agar tidak terjadi distorsi materi yang bersifat normatif dengan realitas praktik hak dan kewajiban dalam kehidupan, pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, seyogianya tidak hanya memberikan materi mana yang sebaiknya melainkan juga perlu menunjukkan materi praktik hak dan kewajiban yang tidak sesuai dengan jiwa lonstitusi. Pengalaman masa lalu, kenyataan yang ada dalam dunia pendidikan kita hanya mampu memberikan hal-hal yang positif kpada peserta didik. Beberapa kasu tentang praktik hak dan kewajiban yang bersifat negatif tidak mungkin disajikan karena kuatnya hegemoni negara. Lebih ekstrem, dunia pendidikan telah digunakan sebagai instrumen politik kekuasaan negara, dengan dalih bahwa pelaksanaan pedidikan yang tidak segaris dengan kebijaksanaan negara dipandang sebagai tindakan yang tidak loyal.
Semenjak reformasi situasi telah berubah. Kran demokrasi telah dibuka lebar-lebar palu hukum akan ditempatkan pada propori keadilan dan hak-hak asasi manusia diharapkan dapat terlindungi dan terlayani serta dapat dihormati sebagaimana mestinya. Guru atau calon guru harus berani menyatakan yang benar itu benar dan yang salah itu slah. Hal-hal yang berifat kontroversial tentang pelanggaran hak dan kewajiban sebaiknya diberikan secara transparan kepada peserta didik.
Sebuah contoh, menjamurnya kasus-kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di negara kita akan lebih baik digunakan sebagai wacana isu kontroversial tentang pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan konstitusi. Jika kita komitmen dengan realitas itu, kiranya hal tersebut dapat digunakan sebagai salah satu jembatan dalam membangun pencerahan legitimasi (kepercayaan) peserta didik terhadap eksisitensi mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Demikian juga par penulis buku pelajaran kiranya juga akan sangat menunjang apabila materi produk buku-buku teksnya diberi nuansa dan persepsi yang senada.
c.    PKn wahana pengembangan daya nalar dan berpikir kritis peserta didik
Stenley E, Dimond (1970) dalam Civic for Citizens menegaskan bahwa salah satu indikator warga negara yang baik adalah sebagai seorang pemikir. Secara demikian Pendidikan Kewarganegaraan harus diposisikan sebagai wahana pengembangan daya nalar peserta didik.
Berpikir adalah berbicara dengan diri sendiri mempertimbangkan, menganalisa dan membuktikan, bertanya mengapa dan untuk apasesuatu terjadi. Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, tentu diperlukan akal untuk berpikir secara benar. Orang mengatakan berpikir yang baik adalah berpikir yang logis.
Berpikir secara logis adalah berpikir tepat dan benar yang memerlukan kerja otak dan akal sesuai dengan ilmu-ilmu logika. Setiap apa yang ingin diperbuat hendaknya diseduaikan dengan keadaan yang ada pada dirinya masing-masing. Jika hal tersebut sesuai dengan kenyataan dan apabila dikerjakan mendapat keuntungan maka segera dilaksanakan. Dengaan memberdayakan otak manusia mampu melakukan kinerja berpikir secara kritis.
Menurut Halpen (dalam Arief Achmad, 2007), menegaskan berpikir kritis adalah memberdayakan ketrampilan atau strategi kognitif dalam menentukan tujuan. Proses tersebut dilalui setelah menentukan tujuan, mempertimbangkan, dan mengacu langsung kepada sasaran-merupakan bentuk berpikir yang perlu dikembangkan dalam rangka memecahkan masalah, merumuskan kesimpulan, mengumpulkan berbagai kemungkinana, dan membuat keputusan ketika menggunakan semua ketrampilan tersebut secara efektif dalam konteks dan tipe yangtepat. Berpikir kritis juga merupakan kegiatan penilaian, mempertimbangkan kesimpulan yang akan diambil ketika menentukan beberapa faktor pendukung untuk membuat keputusan.
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan YME, yang dilengkapi dengan akal pikiran. Tanpa akal manusia tidak akan bisa berkarya. Hanya dengan akal dan fikiran manusia dapat berubah taraf kehidupannya.Namun, manusia tidak pernah puas dengan keadaan yang ada, mereka selalu ingin merubah keadaan yang menimbulkan perubahan sehingga tercipta dunia maju.
Warga negara yang baik harus selalu berpikir terhadap negaranya supaya menjadi lebih baik. Membangun rasa kebangsaan dan cinta tanah air tidak muncul tba-tiba melainkan melalui proses berpikir. Ada seperangkat potensi mengapa orang bersikap demikratis, mengapa harus loyal kepada negara, mengapa harus belajar giat demi kemajuan bangsa dan negaranya.
Melalui Pendidikan Kewarganegaraan dapat dibangun sebuah penalaran nasional peserta didik yang mampu terlibat aktif dalam proses pengambilan keputusan baik dalam institusi pendidikan maupun dalam masyarakatnya. Di sisni tampak pula letak pentingnya program Pendidikan Kewrganegaraan yang ditujukan untuk mengembangkan kesadaran akan hak-hak dan kewajiban individu sebagai warga negara.
d.   PKn sebagai laboratorium demokrasi dan pemberdayaan civil society
1)   PKn sebagai laboratorium demokrasi
Sebagai laboratorium demokrasi PKn harus diperankan sebagai wahana mempertemukan perbedaan yang melekat pada diri warga negara menuju pada kesepakatan, komitmen dan saling memberdayakan. Pendidikan Kewarganegaraan pada dasarnya termasuk bagian integral dari bidang pendidikan sosialyang memiliki visi dan misi pengembangan democratic and beliefs (NCSS, 1992) atau rasa tanggujawab kemasyarakatan dan kebangsaan yang oleh Lickona (1992) ditegaskan sebagai respect and responsibility yang diyakininya sebagai inti dari karakter warga negara yang cerdas dan baik. Menurut Welton dan Mallan (dalam Winataputra, 1999) bahwa secara ontologis bidang pendidikan sosial memusatkan perhatian pada things social, yaitu segala yang menyangkut kehidupan manusia sebagai warga masyarakat yang memiliki sifat multidimensional, holistik, dan peka terhadap perubahan. Oleh karena itu paradigma bidang pendidikan sosial termasuk pendidikan kewarganegaraan perlu melihat secara holistik dan kontekstual dalam tataran ideal, instrumental, dan praksis kehidupan bermasyarakat bangsa, bernegara serta bermasyarakat global.
Pendidikan kewarganegaraan harus disikapi dan diperlakukan sebagai bidang kajian ilmu kependidikanyang memusatkan perhatian pada pengemmbangan warga negara yangcerdas, demokratis, dan religius. Dalam rangka ini pendidikan kewarganegaraan harus dipandang sebagai gerakan sosila-budaya kewarganegaraan yang secara sinergistik dilakukan dalam upaya membangun kebajikan warga negara (civic virtue)  dan budaya warga negara (civic culture)yang secara realitas mampu memahami perbedaan-perbedaan, dan menyelesaikan persoalan kehidupan secara demokratis, cerdas, dan religus.
Sementara itu, Cogan (19198) mengidentifikasi karakteristik yang perlu dimiliki oleh seorang warga negara, yang antara lain: (1) ability to understand, accept, and tolerate cultural differencass (kemampuan untuk memahami dan menerima perbedaan budaya); (2) capacity to think in a critical and systimatic way (kemampuan untuk berpikir kritis dan sistematis); (3) willingness to revolve conflict in a non-violent manner (kemampuan menyelesaikan konflik tanpa kekeraan); (4) ability to work with others cooperative way to take responsibility for one’s rule/duties within siciety (memiliki kemampuan untuk bekerjasama dengan orang lain dan memikul tanggungjawab atas peran dan kewajibannya dalam masyarakat); (5) ability to sensitive towards and to defend human rights (memiliki kepekaan terhadap hak-hak asasi manusia); (6) ability to participate in politics at local, national, and international levels (kemampuan berpartisipasi dalam politik pada tingkat lokal, nasional, dan internasional).
2)   PKn sebagai wahana pemberdayaan civil society
Konsep civil society memiliki atribut adanya sikap dan tindakan warga yang bebas dari tindakan kekerasan. Dalam masyarakat keberadaban atau madani, terkandung konsep adanya pengakuan dan peneriamaan terhadap kebhinekaan, baik eynik, agama, ras, golongan, kesemuanya ditempatkan secara equalitas atau kesederajatan. Dalam hub8ngannya dengan civil society tersebut, Langenberg (1996) mengklasifikasi antara lain terdiri dari: kelompok-kelompok dan perkumpulan, pendidikan, tenaga kerja, bisnis, partai politik, organisasi keagamaan, profesi, perdagangan, media, seni, kelompok lokal, keluarga dan perkumpulan kekerabatan.
Kajian tentang civil society Hikam dalam Demokrasi dan Civil Society menegaskan bahwa civil society di Indonesia berkembang dengan penuh paradoks. Oleh karena tu pemberdayaan masyarakat sipil bagi masyarakat Indonesia mutlak diperlukan. Terlebih jika dikaitkan dengan masyarakat Indonesia yang majemuk. Penghormatan terhadap hak asasi manusia yang melekat pada seluruh potensi bangsa, menjadi pilihan rasional yang utama agar tercipta kehidupan yang demokratis serta mengedepankan kesatuan dan persatuan bangsa. Secara sosio kultural, strategi pemberdayaan civil society yang paling strategis dilaksanakan lewat pendidikan. Sebab, upaya demokratisasi budaya hanya dapat dilaksanakan dengan cara penanaman dan pengembangan secara terus-menerus budaya civil melaui pendidikan  yang sosialisasinya bisa lewat sekolah, komunitas, organisasi sosial budaya.
PKn hendaknya diasumsikan sebagai satu alternatif untuk menjawab upaya pemberdayaan masyarakat. Dalam rangka ini Pendidikan Kewarganegaraan diharapkan mampu beraktualisasi terutama dalam konsentrasinya untuk menggarap hak dan kewajiban warga negara sehingga memiliki kepribadian yang baik, demokratis, bertanggungjawab.
Tugas utam Pendidikan Kewarganegaraan adalah memberikan informasi tentang hubungan negara dengan warga negara. Hal inii senada dengan konsep Pendidikan Kewarganegaraan yang senantiasa komitmen dalam mengajarkan keragaman latar belakang kebudayaan peserta didik sebagai kekuatan dalam membentuk sikap warga negara.
Dalam wacana civil societynegara harus diposisikan sejajar dengan warga negara. Jika salah satu diantaranya mengingkari komitmen konstitusi sebagai standar normatif, maka hubungan itu akan terkoyak dan masyarakat sealu berada pada posisi yang lemah.Melalui instrumen kekuasaan negara bisa melakukan cara yang kasar atau cara yang paling halus untuk mengelabuhi masyarakat agar legitimasi selalu mengalir kepada negara.
2.    Pendidikan Kewarganegaraan Bersifat Sentral
Dalam kerangka penyelenggaraan pendidikan nasonal, Pendidikan Kewarganegaraan menempati kedudukan yang sentral. Rasionalnya program Pendidikan Kewarganegaraan memiliki keterkaitan langsung dengan program pendidikan nasional. Hal itu tampak, ketika aspekk program Pendidikan Kewarganegaraan dipersepdikan dalam mendukung tujuan pendidikan nasional. Pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila banyak memiliki signifikansi dengan Pendidikan Kewarganegaraan, terutam jika dikaitkan dengan landasan ideologis dan konstitutif yang digunakan yaitu Pancasila dan UUD 1945.
Signifikansi lain, tampak jelas jika ditelusuri dari target garapn masing-masing Pendidikan Kewarganegaraan yang bertujuan membentuk kepribadian warga negara yang baik berkaitan langsung dengan upaya pembentukan manusia Indonesia yang berkualitas sebagaimana digambarkan dalam tujuan pendidikan nasional. Dengan demikian substansi garapan dua program pendidikan tersebut pada hakikatnya memiliki kesamaan terutama dalam menggarap kepribadian warga negara yang baik dan berkualitas.
3.    Pendidikan Kewarganegaraan Memiliki Posisi Strategis dalam Kerangka Kurikulum Persekolahan
Secara kurikuler penyelenggaraan pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila disadari tidak akan cukup hanya diwakilkan pada bidang studi atay mata pelajaran Pendidika Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) atau Pendidikan Kewarganegaraan dalam mengisi jiwa kurikulum yang berbasis pada kompetensi. Bidang-bidang studi lain pada dasarnya memiliki misi yang sama, terutama dalam mengajarkan nilai-nilai ideologis dan moral Pacasila serta nilai-nilai konstitutif UUD 1945 sebagai hukum dasar negara yang tertinggi. Oleh karena itu, tidak dibenarkan adanya upaya memutarbalikkan fakta bahwa hanya ada satu bidang studi yang mendominasi serta melakukan klaim paling berkompeten untuk mengajarkan nilai-nilai dan moral luhur  bangsa Indonesia. Masing-masing bidang studi dalam kurikulum sekolah hendaknya disikapi sejajar dan memiliki kontnribusi yang sama dalam upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional.
Kendatipun demikian Pendidikan Kewarganegaraan diharapkan mampu merefleksi fungsinya dalam kapasitas sebagai pendidikan nilai, moral, dan budi pekerti bangsa serta etika nasional bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Penegasan itu diharapkan tidak terjadi overlaping antara Pendidikan Kewarganegaraaaan dengan Pendidikan Agama yang pada dasarnya juga merupakan pendidikan moral dan etika. Pendidikan Agama depetakan berdasarkan konsesp dan pendekatan agama-agama ssedangkan Pendidikan Kewarganegaraan di peta berdasarkan embrio kepribadian bangsa Indonesia sebagao budi pekerti nasional. Perlu disadari penegasan ini juga tidak bermadsud untuk merendahkan eksistensi pendidikan agama dalam konteks pendidikan nasional, namun lebih dipusatkan dalam upaya memperjelas pembagian kapling pengajaran agar tidak terjadi benturan farapan akhir dari masing-masing bidang studi yang dimaksud.
Persoalan iman dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa lebih dominan digarap oleh Pendidikan Agama, dengan pertimbangan Pendidikan Kewarganegaraan banyak menggunakan referensi pendidika agama, sedangkan persoalan budin pekerti nasional lebih banyak ditangani oleh Pendidikan Kewarganegaraan.Penegasan lain, diharapkan bahwa misi Pendidikan Agama tidak dicampuradukkan dengan misi dalam meraih posisi dalam konstelasi politik nasional sehingga menyebabkan kaburnya substansi pendidikan tersebut. Jika hal ini terjadi eksistensi pendidikan agama akan berubah menjadi kompetisi agama-agama dalam memperoleh kekuasaan. Tentunya hal demikian tidak diharapkan terjadi dalam kehidupan bangsa Indonesia yang salah satunya menganut paham pluralitas dalam beragama.
Dalam konteks itu, nilai strategis Pendidikan Kewarganegaraan berperan untuk memotori program transformasi nilai, moral, dan budi pekerti bangsa dan sekaligus sebagi wahana dalam mengembangkan wawasan warga negara dalam kerangka pikir nasionla, yang substansinya digali dari nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 serta buday bangsa yang tumbuh dan berkembang dalam kawasan lokal. Pendidikan Kewarganegaraan bisa jadi juga berperan sebagai jembatan penghubung dari konsisi bangsa Indonesia yang bersifat pluralistis, yamg sebenarnya lebih menampakkan masyarakat yang rentan akan konflik. Dalam kaitan ini, maka target Pendidikan Kewarganegaraan adalah membangun pola pikir peserta dididk yang mampu bersikap akomodatif serta memadu dalm keseimbangan guna menghindari terjadinya konflik dan disintegrasi bangsa terutama dalam menuju masyarakat sipil yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia dewasa ini.
Konsep civil society memiliki atribut adanya sikap dan tindakan warga yang bebas dari tindakan kekerasan. Dalam masyarakat keberadaban atau madani terkandung konsep adanya pengakuan dan penerimaan terhadap kebhinekaan, baik etnik, agama, ras, dan golongan. Semuanya ditempatkan secara sederajat. Dalam hubungannya dengan civil society tersebut Langenberg (1996) mengklasifikasikan antara lain terdiri atas kelompok-kelompok dan perkumpulan, pendidikan, tenag kerja, bisnis, partai politik, organisasi keagamaan, profesi, perdagangan, media, seni, kelompok lokal, keluarga, dan perkumpulan kekerabatan.
Civil society di Indonesia berkembang dengan penuh paradoks. Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat sipil bagi masyarakat Indonesia mutlak diperlukan. Lebih-lebih jika dikaitkan dengan sifat masyarakat Indonesia yang serba majemuk. Penghormatan terhadap hak asasi manusia yang melekat pada seluruh potensi bangsa, kiranya menjadi pilihan rasional yang pertama dan utama agar tercipta suasan kehidupan yang demokratis dan senantiasa mengedepankan persatuan daan kesatuan bangsa.
Dalam rangka ini, Pendidikan Kewarganegaraan diharapkan mampu beraktualisasi terutama dalam konsentrasinya untuk menggarap hak dan kewajiban warga negara sehingga memiliki kepribadian yang baik, demokratis, dan bertanggung jawab. 
Read More »

Hubungan Warga Negara dan Negara (Pendidikan Kewarganegaraan)

Unknown
01:51

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Warga negara memiliki peran yang vital bagi keberlangsungan sebuah negara. Oleh karena itu, hubungan antara warga negara dan negara sebagai institusi yang menaunginya memiliki aturan atau hubungan yang diatur dengan peraturan yang berlaku di negara tersebut. Agar dapat memiliki status yang jelas sebagai warga negara, pemahaman akan pengertian, sistem kewarganegaraan serta hal-hal lain yang menyangkut warga negara hendaknya menjadi penting untuk diketahui. Dengan memiliki status sebagai warga negara, orang memiliki hubungan dengan negara.
Masalah Warga negara dan Negara perlu dikaji lebih jauh, mengingat Demokrasi yang ingin ditegakkan adalah Demokrasi berdasarkan Pancasila. Aspek yang terkandung dalam Demokrasi Pancasila antara lain adalah adanya kaidah yang mengikat Negara dan Warga negara dalam bertindak dan menyelenggarakan hak dan kewajiban serta wewenangnya. Secara material adalah mengakui harkat dan martabat Manusia sebagai makhluk Tuhan, yang menghendaki Pemerintahan untuk membahagiakannya, dan memanusiakan Warga negara dalam Masyarakat Negara dan masyarakat bangsa-bangsa.

B.       RUMUSAN  MASALAH
1.      Apa yang dimaksud dengan Peta Normatif Hubungan Negara dan Warga Negara ?
2.      Apa itu Legitimasi dan Korporatisasi Negara ?
3.      Apa yang dimaksud dengan Negara dan Warga Negara (Refleksi Masa Orde Baru) ?
4.      Apa itu Pemerintahan Reformasi ?
5.      Apa itu Kaji Banding Paradigma Hubungan Negara dan Warga Negara (Kasus Orde Baru dan Pemerintahan Reformasi) ?

C.      TUJUAN
1.      Untuk mengetahui Peta Normatif Hubungan Negara dan Warga Negara
2.      Untuk mengetahui Legitimasi dan Korporatisasi Negara
3.      Untuk mengetahui Negara dan Warga Negara (Refleksi Masa Orde Baru)
4.      Untuk mengetahui Pemerintahan Reformasi
5.      Untuk mengetahui Kaji Banding Paradigma Hubungan Negara dan Warga Negara (Kasus Orde Baru dan Pemerintahan Reformasi)

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Peta Normatif Hubungan Negara dan Warga Negara
Konsep hubungan antara warga negara dengan negara masih sering menimbulkan persoalan yang bersifat dilematis. Hubungan antara warga negara dan negara juga kerap kali dipersepsikan dalam bahasa yang ‘latah’. Apakah dalam proses hubungan itu negara harus berada di atas warga negara ataukah justru menempatkan keduanya dalam hubungan kesejajaran. Apakah negara harus mencampuri urusan asasi warga negara ataukah sebuah perlakuan yang ‘ditabukan’.
Dalam wacana Pendidikan Kewarganegaraan, negara harus diposisikan sejajar dengan warga negaranya. Masyarakat (warga negara) tidak dilawankan dengan negara, akan tetapi justru dipersepsikan sebagai ‘mitra’ hubungan antara keduanya. Selama negara masih berada di atas warga negara atau masyarakat, maka hubungan antara keduanya tidak akan bisa berlangsung secara harmonis. Padahal, keharmonisan ini menjadi kata kunci yang menentukan segala-galanya.
Dalam hal itu, Gouldner (1998) menegaskan bahwa hubungan antara masyarakat dan negara tidak selalu selamanya berkonotasi normatif, tetapi juga bersifat empirik. Secara normatif, bahwa hubungan negara dan warga negara harus selalu berpegang pada hak dan kewajiban yang melekat antara keduanya, sehingga proses dialogisnya berlangsung secara demokratis, adil, dan harmonis dengan bersandar pada norma yang dipersyaratkan oleh konstitusi. Sedangkan secara empirik bisa jadi justru melanggar norma bangsa dan negara yang telah disepakati bersama.
Untuk membangun hubungan antara negara dengan warga negara secara adil dan berimbang, normatif dan etik, dapat ditempuh dengan langkah-langkah berikut:
1.        Inventarisasi variabel yang melekat pada diri warga negara;
2.        Inventarisasi variabel yang melekat pada organisasi negara;
3.        Menghubungkan variabel yang melekat pada diri warga negara dengan variabel yang melekat pada organisasi negara;
4.        Mempersepsikan hubungan kedua variabel (warga negara dan negara) identik dengan hubungan hak dan kewajiban antara keduanya; dan
5.        Menara dasar norma sebagai ‘pembenar’ hubungan antara warga negara dengan negara, yang bersumber dari jiwa dan nilai-nilai konstitusi.
Hubungan negara dan warga negara tidak berlangsung menurut gradasi (tingkatan) yang vertikal, melainkan menjadi hubungan yang sederajat. Masing-masing memiliki nilai fungsional sendiri dan terjalin secara interaktif dalam pemetaan secara sistematik. Negara tidak dibenarkan mendominasi warga negara, begitu juga warga negara tidak dibenarkan secara anarkis menjatuhkan negara.

B.       Legitimasi dan Korporatisasi Negara
Hubungan antara negara (pemerintah) dengan warga negara (rakyat atau masyarakat) berkaitan dengan persoalan ‘pengakuan’ antara dua komponen itu. Ditilik dari sisi negara, maka legitimasi merupakan penerimaan dan pengakuan masyarakat (yang pimpin) terhadap negara atau hak-hak yang memimpin (Surbakti, 1992). Oleh sebab itu, legitimasi selalu mempersoalkan sikap masyarakat atas kewenangan pemerintah dalam membuat dan melaksanakan keputusan politiknya. Jika masyarakat menerima hak dan wewenang pemerintah untuk aktivitas itu, berarti negara (pemerintah) telah mendapatkan legitimasi dari masyarakat. Sedangkan dari sisi masyarakat, legitimasi muncul lebih banyak berkaitan dengan persoalan pengakuan atas hak-hak yang melekat pada komunitas sosial masyarakat atau warga negara.
Legitimasi selain diperlukan oleh negara juga diperlukan oleh masyarakat dan sistem politik secara keseluruhan. Dalam kaitan ini, Andrain (dalam Surbakti, 1992), menyebutkan lima obyek sasaran legitimasi, yakni: komunitas politik, hukum, lembaga politik, pemimpin politik dan kebijakan. Kelima obyek tersebut memiliki hubungan secara kumulatif dan hierarkis. Artinya, jika obyek yang pertama tidak mendapatkan dukungan dari masyarakat, maka obyek-obyek berikutnya juga tidak akan mendapatkan dukungan.
Dalam mendapatkan atau mempertahankan legitimasinya dari masyarakat, negara senantiasa melakukan serangkaian upaya untuk mencapai tujuan tersebut. Dengan berbagai cara, negara bisa memanfaatkan potensi masyarakat sebagai instrumen legitimasinya. Dengan demikian terjadilah korporatisasi negara terhadap masyarakat. Pada umumnya, cara-cara memperoleh legitimasi dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu dengan cara simbolis, cara prosedural dan dengan cara material. Cara pertama, dilakukan dengan memanipulasi kecenderungan-kecenderungan moral, emosional, tradisi, kepercayaan, dan nilai-nilai budaya yang pada umumnya dalam bentuk simbol. Cara kedua, dilakukan dengan menyelenggarakan pemilihan umum untuk menentukan wakil-wakil rakyat, presiden dan wakil presiden, dan para anggota para lembaga tinggi lainnya serta referendum untuk mengesahkan kebijakan umum. Cara ketiga, dilakukan dengan menjanjikan atau memberikan kesejahteraan material kepada masyarakat, seperti jaminan tersedianya kebutuhan dasar (basic needs), fasilitas kesehatan dan pendidikan, sarana komunikasi transportasi, sarana ibadah, seni dan hiburan dan sebagainya.
Sementara itu, korporatisasi lebih banyak berlatar dari kondisi sebuah masyarakat yang bersifat pluralistis. Dalam pandangan pluralis, suatu masyarakat terdiri dari kelompok-kelompok kepentingan (interest group) yang diawasi oleh negara. Inisiatif dan gaya gerak masyarakat berasal dari kelompok-kelompok yang dijalankan oleh pihak swasta. Dalam pandangan korporatis, negara tetap dinomorsatukan, dan kepentingan kelompok ditentukan berdasarkan hubungannya dengan negara. Di samping itu, kaum korporatis beranggapan bahwa hubungan antara negara dan kelompok kepentingan dalam masyarakat itu dibentuk oleh hubungan tukar-menukar dengan negara.
Menurut Schmitter, sebagaimana dikutip oleh Maswadi Rauf (dalam Budiardjo, 1996), korporatisasi mengandung unsur-unsur : (1) sistem perwakilan rakyat; (2) pengorganisasian kelompok-kelompok kepentingan dalam jumlah yang kecil oleh negara dengan sifat non-kompetitif dan berbeda secara fungsional; (3) organisasi-organisasi tersebut diakui, diberi izin atau bahkan dibentuk oleh negara; (4) pemberian monopoli untuk mewakili anggota-anggota; dan (5) adanya kepatuhan kepada penguasa politik yang menentukan pimpinan organisasi dan artikulasi serta dukungannya.
Dengan korporatisasi, peranan negara nampak besar terutama dalam menggalang kerja sama dengan berbagai kelompok kepentingan di dalam masyarakat. Hal ini lebih menampakkan adanya tradisi demokrasi, khususnya tugas negara dalam menghormati hak-hak bagi kelompok kepentingan dalam masyarakat. Ketiadaan tradisi demokrasi akan melahirkan dominasi negara, dan pada gilirannya mendorong negara untuk mempersempit kebebasan bagi organisasi-organisasi di dalam masyarakat. Itulah sebabnya, berbagai kelompok kepentingan yang muncul di dalam masyarakat perlu dirangkul oleh negara agar tuntutan-tuntutan mereka tidak menimbulkan konflik, gangguan stabilitas dan politik.
Dalam pandangan Pendidikan Kewarganegaraan , korporatisasi masih diperlukan lebih-lebih bagi masyarakat Indonesia yang serba majemuk. Namun demikian, ketika negara ingin mengadakan hubungan dengan masyarakat, warga negara dan rakyat, nuansa korporatisasi hendaknya selalu diberi label, ‘bukan dominasi’ akan tetapi harus berlangsung lewat ‘dialogis secara mendalam’. Hal ini berarti, korporatisasi negara tidak lagi menggunakan pendekatan ‘gradasional’ (bertingkat) akan tetapi lebih ditekankan pada hubungan yang bersifat ‘kemitraan dan kesejajaran’. Negara juga lebih banyak memberikan kebebasan pada masyarakat (civil society) untuk lebih berdaya. Jadi dalam Pendidikan Kewarganegaraan diharapkan adanya saling memberdayakan dan memberadabkan antara negara dan warga negara (empowering and civilizing).

C.      Negara dan Warga Negara (Refleksi Masa Orde Baru)
Tumbangnya pemerintahan Orde Lama, yang disusul dengan lahirnya pemerintahan Orde Baru, pada awalnya memang diharapkan mampu membawa kehidupan politik bangsa ini ke arah angin segar. Sebuah orde pemerintahan yang dirancang dan menempatkan dirinya sebagai korektor total terhadap segala penyelewengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dari posisi proporsionalnya, yakni sebagai landasan pembangunan di segala bidang.
Dengan slogan ‘Pembangunan yes’ dan ‘politik no’, Orde Baru bertekat akan mengantarkan potensi rakyat sebagai modal dalam pembangunan nasional. Pembangunan ekonomi ditempatkannya sebagai ‘spektrum sentral’, dan sementara itu konsep ‘politik sebagai panglima’ tampak diabaikan. Selain itu, Orde Baru telah mampu memotret dirinya sebagai ‘Orde Pembangunan’ yang memiliki komitmen dalam menegakkan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Logika pembangunan pada gilirannya juga digunakan sebagai upaya penekanan arti penting persatuan dan kesatuan bangsa dan stabilitas nasional. Lebih tajam lagi, bahwa untuk menciptakan persatuan nasional hanya mungkin dilakukan di bawah kepemimpinan nasional.
Dalam kaitan itu, paradigma pembangunan pada masa Orde Baru di peta sedemikian rupa, di mana negara (pemerintah) bertanggung jawab sebagai ‘patron’ (bapak) dan warga negara (rakyat) dipandang sebagai ‘client’ (anak). Realita ini pada dasarnya merupakan indikator adanya praktek perspektif kultural Jawa (terutama konsep ‘momong’ dan ‘momongan’) yang diformatkan dalam politik Orde Baru. Dengan konsep ‘momong’, berarti negara (pemerintah) akan melakukan tugas untuk menjaga dengan penuh kasih sayang; sedangkan konsep ‘momongan’ mengungkapkan tugas dan tanggung jawab yang lebih berat pada subyek yang ‘diemong’ (diasuh). Konsep-konsep ini, relevan dengan konsep kepemimpinan nasional yang dikembangkan oleh Orde Baru saat itu.
Gagas pemerintahan dan kepemimpinan nasional Orde Baru tersebut, ternyata dalam prakteknya justru banyak mengecewakan rakyat. Hal ini disebabkan oleh solusi pemerintah dan pembangunan bukan lagi diarahkan demi kesejahteraan rakyat banyak, akan tetapi nampak sebaliknya yang mengarah pada kepentingan partai pemerintah, golongan, rezim, keluarga serta pemerintah itu sendiri.
Lebih parah lagi, Orde Baru membangun sebuah strategi kepemimpinan moral dan intelektual yang sangat ‘canggih’ lewat pemerintahan ‘hegemoni’ yang dipadu dengan kekuatan militer. Itulah sebabnya , tidak jarang jika ada warga negara yang melancarkan kritik terhadap kebijakan pemerintah, dianggap mengganggu stabilitas politik dan keamanan nasional. Dan karena itu, cara-cara ‘gebug’, ‘sikat’, ‘libas’, ‘tangkap’, ‘OTB’, ‘subversif’ dan sebangsanya pasti akan muncul. Kritik apa pun yang dilancarkan oleh masyarakat, memang dirasakan tidak pernah mendapat tempat dalam pemerintahan Orde Baru.
Selain itu, dalam tataran birokrasi, Orde Baru lebih banyak menampakkan pemerintahan yang sentralistis. Hal ini nampak dalam pola pengambilan keputusan elite politik di tingkat atas, yang menempatkan pemegang posisi puncak kekuatan yang sangat dominan. Misalnya dalam upaya pengorbitan ‘konsensus nasional’ mengenai asas tunggal Pancasila, tidak menampung aspirasi arus bawah. Dampak dari aplikasi konsep kekuasaan seperti itu, akan melahirkan budaya ‘ewuh-pakewuh’ di kalangan elite dan celakanya juga bagi seluruh warga negara Indonesia.
Kondisi demikian, nampaknya sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Orde Baru sudah sangat jauh menghegemoni seluruh potensi bangsa yang tidak menguntungkan demokratisasi dan hak-hak asasi manusia. Rakyat sudah tidak sabar lagi membiarkan hal itu semakin panjang. Akhirnya, lewat Gerakan Reformasi Total, yang banyak digulirkan oleh mahasiswa, akademisi, aktivis politik, dan HAM serta LSM dan sebagainya, maka pada tanggal 21 Mei 1998, presiden Soeharto jatuh, dan turun dari ‘singgasana’ kepresidenannya.
Kinerja pemerintah yang diteruskan oleh ‘pemerintahan transisi’ yang dipimpin oleh Habibie, nampak juga tidak diterima oleh rakyat, lantaran agenda pemerintahannya masih menggunakan gaya lama dan selalu berada di bawah bayang-bayang Orde Baru. Kesalahan yang paling fatal oleh pemerintahan ini, lepasnya wilayah Timor Timur dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang secara politis dan finansial banyak merugikan negara dan bangsa kita. Sebagai klimaksnya, Habibie terpaksa harus menerima untuk berhenti di tengah jalan, akibat laporan pertanggungjawabannya ditolak dalam sidang MPR hasil Pemilu 1999. Presiden terpilih selanjutnya adalah Abdurrahman Wahid, yang duet dengan ‘saudaranya’, yaitu Megawati Soekarno Putri sebagai wakil presiden.
Sekalipun demikian, era Orde Baru bukanlah salah dalam segala-galanya. Secara obyektif, patut bangsa Indonesia mengakui bahwa program pemerintah Orde Baru terkadang masih juga bisa dinikmati bagi kesejahteraan rakyat. Beberapa kebijakan pembangunan dalam kurun Pelita ke Pelita, juga masih memberikan arti bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Akhirnya, sangat disayangkan kalau perjalanan Orde Baru kemudian berhenti dengan tragis, lantaran kebijakan lebih banyak diwarnai untuk pemenuhan kepentingan negara, pemerintah, keluarga, dan sebuah rezim. Belum lagi, kecanggihannya dalam ‘membius’ rakyat sehingga mengakibatkan rakyat senantiasa ‘loyal’ karenanya. Pengemasan perjuangan kepentingan kekuasaan pemerintah, dilakukan dengan sangat rapi, sehingga seakan merupakan perjuangan demi kepentingan rakyat.

D.      Pemerintahan Reformasi
Prinsip pokok reformasi di Indonesia adalah reformasi total. Artinya, bahwa gerakan reformasi diarahkan pada upaya pembaharuan kehidupan bangsa dan negara menuju kehidupan yang lebih baik. Cakupan reformasi menyeluruh adalah reformasi moral, politik, sosial, dan budaya, dalam membongkar budaya feodalistik yang merugikan bagi persatuan dan kesatuan bangsa.
Cita-cita reformasi senantiasa ditempatkan pada kerangka landasan kemerdekaan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Secara demikian, reformasi total dan menyeluruh dipusatkan pada upaya pembongkaran praktek-praktek hukum atau tatanan praktek kekuasaan, kezaliman, tradisi serta budaya politik yang merugikan kehidupan bangsa.
Dalam dunia perpolitikan Indonesia, secara fisik Orde Baru memang telah tergusur dan Soeharto telah jatuh (umumnya orang mengatakan ‘lengser’). Bersamaan dengan itu, tren kehidupan politik direformasi total yang sedang berlangsung selama ini. Dunia politik Indonesia lebih banyak dianalisis secara proporsional. Mulai dari wacana politik, bahasa, kekuasaan, dan bahkan sampai pada wacana budaya.
Pengalaman pahit bangsa Indonesia, lewat panggung politik di bawah pemerintahan Orde Baru, mengharuskan bangsa Indonesia berpikir ulang untuk menyusun format baru dalam menghapus praktek hegemoni negara, yang menempatkan masyarakat, warga negara dan rakyat pada posisi yang lemah. Melalui pemerintahan hegemoniknya, Orde Baru telah berhasil memposisikan dirinya sebagai supremasi kelas yang mampu mendominasi masyarakat dan menempatkannya sebagai objek pemerintahan (kekuasaan). Pola pemerintahan Orde Baru memang kental dengan konsep hegemoninya, yakni kepemimpinan intelektual dan moral (Sparingga, 1997). Praktek pemerintahan Orde Baru yang dipadu dengan mengandalkan ekstremitas nilai konsensus, juga telah berhasil memetakan hubungan antara negara dengan warga negara, pemerintah dengan rakyat sebagai hubungan yang bersifat vertikal dalam posisi sebagai bapak (patron) dan anak (client).
Kini bangsa Indonesia sedang menatap sebuah kehidupan pasca reformasi menuju masyarakat yang diidamkan, yaitu masyarakat Indonesia baru. Sebuah masyarakat di mana wacana politik rakyat (warga negara) harus bisa diterjemahkan identik dengan wacana politik pemerintah (negara). Persoalan demokratisasi, supremasi hukum, merebaknya isu hak-hak asasi manusia serta cita-cita membangun civil society, kiranya telah menjadi sebuah tuntutan yang paling mendesak. Gagasan pemberdayaan masyarakat, diharapkan agar rakyat memiliki posisi tawar (barginning power) yang sejajar dengan negara (penguasa). Dia bukanlah agen atau instrumen kekuatan penguasa, melainkan harus diartikan sebagai mitra negara yang memiliki kedudukan yang setara.
Dalam menata ulang kehidupan bangsa ke format yang lebih baik, dibutuhkan bukan saja kerja rekonstruksi politik di tataran praktis, melainkan juga dekonstruksi wacana dan paradigma yang terbukti sesat. Untuk itulah masyarakat Indonesia memerlukan lalu lintas gagasan yang serius dan intens, agar proses dekonstruksi wacana tersebut benar-benar sejalan dengan kebutuhan demokratisasi.
Zaman pemerintahan reformasi di bawah kepemimpinan Gus Dur tidak banyak memberikan harapan kepada rakyat. Banyak kasus kenegaraan dan kemasyarakatan muncul dalam era pemerintah ini, sehingga tidak saja mencuat dalam kehidupan nasional namun juga sampai merambah ke dalam kehidupan internasional. Identifikasi persoalan kenegaraan pada zaman Gus Dur paling tidak dapat dikemukakan beberapa hal sebagai berikut:
1.    Rekonstruksi persepsi dan mekanisme demokrasi dalam tataran elite politik nampak belum berjalan secara proporsional.
2.    Banyak konflik sosial baik vertikal dan horizontal, sehingga sampai mengancam kebutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.
3.    Realisasi supremasi hukum nampak tidak berjalan.
4.    Dia terkesan berjalan sendiri walaupun memiliki hak prerogatif.
5.    Terkesan saling ngotot, bahkan mencari benar sendiri antara DPR/ MPR dan dirinya sebagai presiden.
6.    Sering melontarkan kata-kata yang membingungkan elite politik dan rakyat secara keseluruhan.

E.       Kaji Banding Paradigma Hubungan Negara dan Warga Negara (Kasus Orde Baru dan Pemerintahan Reformasi)
Paradigma yang digunakan dalam memetakan hubungan negara dan warga negara antara pemerintah Orde Baru dan pemerintah Reformasi nampak terdapat perbedaan yang berarti. Hubungan negara dan warga negara pada era Orde Baru banyak diilhami oleh jiwa teori hegemoni, sedangkan pada era reformasi lebih banyak diilhami oleh teori strukturalisasi yang dikemukakan oleh Anthony Giddens.
Substansi pokok antara teori hegemoni (Gramscian) dan teori strukturasi (Giddenian) adalah sama-sama digunakan sebagai sarana menjembatani problema teoritis tentang hukuman antar penguasa dengan yang dikuasai, negara dengan masyarakat dari aplikasi teori sebelumnya. Teori hegemoni digunakan untuk menjembatani konflik kelas penguasa dan yang dikuasai, yang bersumber pada solusi ekonomi sebagaimana dielaborasi dari kaum Marxian ortodoks, dan menggesernya ke arah solusi politik, ideologi, kultural, dan moral. Sementara itu, teori struktural (Giddenian) yang mengagungkan struktur dan yang mengagungkan tindakan manusia.
Ada beberapa varian yang perlu dicari perbedaan orientasinya, baik dalam teori hegemoni dan strukturasi, yaitu:
1.        Varian mengenai posisi negara dan masyarakat (warga negara).
Dalam pandangan Gramscian, negara (pemerintah) dipandang berada di atas warga negara (masyarakat). Sedangkan pandangan Gidderian, negara dipandang memiliki posisi yang sejajar dengan masyarakat atau warga negara.
2.        Varian yang berkaitan dengan fungsi norma, ideologi, nilai dan kultural dalam kehidupan masyarakat dan negara.
Dalam pandangan Gramsci, norma-norma politik, ideologi, kultural, dan moral ditempatkan sebagai instrumen hegemoni. Sedangkan dalam teori strukteurasi Giddens, norma-norma, ideologi, kultural, dan nilai moral dimasukkan sebagai unsur struktur yang mampu membingkai praktek sosial.
3.        Varian yang berkaitan dengan pandangan kedua teori terhadap negara.
Grsmsci memandang konsep negara yang bersifat integral, dalam arti bahwa negara merupakan hasil gabungan antara masyarakat politik dan masyarakat sipil. Sementara itu, Giddens tetap memandang antara negara dan masyarakat sipil mempunyai hubungan yang sejajar.
Read More »
Newer Posts
Older Posts
Home
Subscribe to: Posts (Atom)

Search here!

Popular Posts

Labels

  • Blogging
  • College
  • Story
Powered by Blogger.

Subscribe

About

Unknown
View my complete profile

Pages

  • Home
  • Blogging
  • College
  • Story

Blog Archive

  • ►  2016 (8)
    • ►  April (8)
  • ▼  2015 (5)
    • ▼  April (5)
      • Kedudukan PKN dalam Sistem Pendidikan Nasional
      • Hubungan Warga Negara dan Negara (Pendidikan Kewar...
      • Membuat Auto Read More
      • Posting Ora Penting
      • Cara Mempercantik Dan Memperindah Tampilan Blog
Copyright 2015 College Education Template By All Blog Things