BAB
II
PEMBAHASAN
A. Rasional Pendidikan Kewarganegaraan
di Perguruan Tinggi
Embrio
konsepsi (pemikiran) mengapa Pendidikan Kewarganegaraan diberikan di perguruan
tinggi semata-mata diupayakan dalam menjawab tantangan regenerasi, yaitu suatu
proses penyiapan generasi muda yang pada gilirannya akan mengganti tampuk
kepemimpinan nasional.
Kendatipun
demikian, proses regenarasi tidaklah segampang seperti yang kita bayangkan. Dia
lebih tampak berjalan dalam proses alamiah yang persiapannya memerlukan waktu
yang relatif tidak singkat. Hal itu disebabkan karena konsep regenarasi tidak
sekadar upaya penyiapan kepemimpinan secara biologis (perkembangan fisik dan
usia), melainkan lebih ditekankan pada proses penyiapan mentalitas generasi
muda yang benar-benar mampu memimpin bangsa ini, mengganti para generasi
pendahulunya.
Sebagai
rasional, penetapan Pendidikan Kewarganegaraan diberikan di perguruan tinggi,
didasarkan pada tingkat perkembangan kepribadian mahasiswa yang secara kualitas
dapat diamati dalam kehidupan mereka. Ada perbedaan penampilan sebagai cerminan
kepribadiannya, antara yang ditampilkan oleh mahasiswa dengan penampilan pemuda
lain, katakanlah pelajar. Apabila dilihat dari pola pikirnya, kedua kelompok
pemuda itu sama-sama memiliki daya kritis, Namun demikian, sifat kekritisan
mereka tampak ada perbedaan. Sifat kritis yang ditampilkan oleh pelajar masih
cenderung ke arah kritis yang emosional, sedangkan mahasiswa telah mampu
menampilkan pola pikir yang bersifat kritis yang rasional.
Dengan
mengandalkan kemampuan penalarannya, mahasiswa dipandang telah mampu
menyelesaikan segala persoalan yang timbul dalam kehidupannya. Ini pun muncul
sebagai suatu kewajaran karena kehidupan mahasiswa paling tidak didukung oleh
lingkungan dimana mereka hidup, yakni dalam masyarakat kampus sebagai
masyarakat ilmiah dan berada di dalam naungan perguruan tinggi sebagai lembaga
ilmiah. Itulah sebabnya, mahasiswa diprediksi lebih mampu mengeksprisikan diri
untuk berpikir ilmiah daripada generasi pemuda yang lain.
Dengan
demikian, pilihan Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi bukanlah
sekedar retorika, akan tetapi memang benar-benar didasarkan totalitas kepribadian
yang melekat pada diri mahasiswa yang dipandang layak dalam mendukung upaya
percepatan program regenerasi.
B. Kedudukan Matakuliah Pendidikan
Kewarganegaraan dalam Kurikulum Perguruan Tinggi
Sebagaimana
diketahui, Pendidikan Kewarganegaraan termasuk sebagai matakuliah Pengembangan kepribadian (MPK)di
samping matakuliah-matakuliah pengembangan kepribadian yang lain yang lain,
seperti Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama,dan Bahasa Indonesia Keilmuan.
Dalam
kaitan itu, bersama dengan matakuliah dasr umum yang lain Pendidikan
Kewarganegaraan bertugas memberikan bekal dasar kepada mahasiswa tentang
seperangkat pengetahuan mengenai hubungan antara negara dengan warga negara dan
pengetahuan pendidikan pendahuluan bela negara (PPBN), terutama yang berkaitan
dengan wawasan berpikir nasional, kesadaran moralnya terhadap pertahanan dan
keamanan nasional. Tugas yang demikian dirasakan sangat berarti, karena aspek
kehidupan nasional dan keamanan berhubungan langsung dengan kehidupan manusia.
Begitu persoalan keamanan mulai muncul maka getarannya tidak saja menyusup
dalam segala aspek kehidupan bangsa Indonesia.
Oleh
karena itu, sebagai bagian dari matakuliah dasar umu, Pendidikan
Kewarganegaraan tidaklah bekerja sendirian. Dalam kaitan ini, Pendidikan
Kewarganegaraan harus mampu berdialog dengan matkuliah-matkuliah pengembangan
kepribadian yang lain dalam memberikan bekal dasar kepada mahasiswa yang latar
belakang disiplin ilmunya berbeda-beda. Diantara matekuliah-matakuliah
pengembangan kepribadian, pada dasarnya harus terjadi saling komunikasi yang
bersifat timbal balik, yang masing-masing diharapkan mampu brjalan sejajar
tanpa ada maksud untuk meninggalkan satu diantara yang lain.
C. Kedudukan Pendidikan Kewarganegaraan
dalam Sistem Pendidikan Nasional
Pendidikan
sering diartikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasa, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara (Pasal 1 UU No. 20 tahun 2003 tetnang
Sistem Pendidikan Nasional). Oleh karena itu, pendidikan nasional Indonesia
hendaknya berakar pada budaya bangsa yang berdasarkan Pancasila (sebagai
falsafah dan pandangan hidup) dan UUD 1945 (sebagai konstitusi negara).
Perbedaan kepribadian, falsafah, dan pandangan hidup bangsa dan konstitusi yang
digunakan akan mewarnai perbedaan pendidikan nsional yangdiselenggarakan pada
suatu negara dengan negara lain.
Selanjutnya,
pendidikan nasional Indonesia yang berlandaskan Pancasila pada dasarnya
bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yang memiliki atribut,
antara lain: beriman dan bertakwa terhadap Tuha Ynag Maha Esa, budi pekerti
yang luhur, berkepribadian, disiplin, kerja keras, tangguh, bertanggung jawab,
mandiri, cerdaas dan terampil, sehat jasmani dan rohani. Selain itu, secara
kualitatif, lewat pendidikan nasional diharapkan warga negara memiliki
kesadaran cinta tanh airnya, tebal semngat kebangsaan, tinggi rasa
kesetiakawanan sosial, percaya pada diri sendiri, inovatif dan kreatif, mampu
membangun diri sendiri dan bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan
negara dan bangsa.
Dalam
kaitan itu, sistem pendidikan nasional adalah suaru keseluruhan yang terpadu
dari semua satuan dan kegitan pendidikan yang berkaitan antara yang satu dengan
yang lain untuk mengusahakan tercapainya tujuan pendidikan nasional.
D. Komponen Sistem Pendidikan Nasional
Sebagai
suatu sistem, pendidikan nasional harus dioperasika secara sistemik dengan
menginteraksikan nilai fungsional yang melekat pada masing-masing komponen yang
berada di dalamnya. Komponen-komponen sistem pendidikan nasional yang dimaksud
adalah sebagai berikut.
1.
Komponen
Ideologis (Pancasila)
Pancasila
adalah dasar negara, ideologi negara dan bangsa, kepribadian, serta pandangan
hidup bangsa yang mampu mengantarkan dan memberi corak kehidupan bangsa Indonesia
dalam mencapai tujuan hidupnya. Dalam rangka ini, garapan pendidikan nasional
Indonesia hendaknya diberi motivasi atas dasar ideologi Pancasila, baik sebagai
ideologi negara maupun kepribadian bangsa.
Menempatkan
Pancasila sebagai landasan dalam penyelenggaraan sistem pendidikan nasional
berarti bangsa Indonesia telah memetakan penyelenggaraan pendidikan nasional
itu memiliki karakteristik berbeda dengan pendidikan nasional yang ditetapkan
di negara lain. Hal itu mengisyaratkan bahwa pendidikan nasional Indonesia harus
diberi label kepribadian bangsa yaitu Pancasila.
2.
Komponen
Konstitutif (UUD 1945)
Sebagai
kerja nasional, pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan rakyat
Indonesia harus memiliki sandaran konstitusi (hukum dasar). Itulah sebabnya,
UUD 1945 sebagai hukum tertinggi di negara kita harus ditempatkan sebagai dasar
hukum penyelenggaraan pendidikan nasional di Indonesia. Jika tidak, bisa
dikatakan bahwa penyelenggaraan pendidikan sama sekali tidak memiliki kekuatan
yuridis dan hukum dasar (inkonstitusional).
Panggilan
konstitusi bagi penyelenggaraan pendidikan nsional oleh pemerintah negara
Indonesia secara eksplisit dapat digali lewat jiwa Pasal 31 UUD 1945 yang
menegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pengajaran. Dengan
demikian, UUD 945 memberikan pembenar (justifikasi) secara konstitutif bag
penyelenggaraan sistem pendidikan nasional Indonesia.
3.
Komponen
Perundangan (UU Nomor 20 Tahun 2003)
Sebagai
konsekuensi logis bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran,
pemerintah wajib menyelenggarakan sistem pendidikan nasional yang diatur dalam
undang-undang. Produk perundangan yang dimaksud adalah UU Nomor 20 Tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-undang itu mempunyai kekuatan
mengikat bagi siapa saja yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan karena
jiwa dari ndang-undang itu memberikan aturan main bagaimana seharusnya praktik
pendidikan nasional itu dilakukan.
4.
Komponen
Wawasan (Wawasan Nusantara)
Wawasan
nusantara adalah cara pandang bandsa Indonesia terhadap diri dan lingkungannya
yang seba nusantara, yang berdasarkan Pancasial dan UUD 1945 untuk mencapai
tujuan pembangunan nasional dalam rangka mencapai tunuan negara sebagaimana
tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan
sistem pendidikan nasional, wawasan nusantara memiliki nilai fungsional, yakni
sebagai wawasan nasional dalam memandang persoalan pendidika yang berlaku di
seluruh daerah dan masyarakat Indonesia tanpa membedakan kondisi geografis
tempat mereka bertempat tinggal. Hal itu menunjukkan bahwa pendidikan nasional
haruslah dilaksanakan secara demokratis, adil dan merata yang mampu menembus ke
segala lapisan masyarakat sesuai dengan hak-hak pendidikan yang dimiliki oleh
setiap warga negara. Dengan wawasan nusantara para penyelenggara pendidikan
nasional hendaknya mentadari bahwa virus pendidika nasional yang berdasarkan
Pancasila harud mampu tersebar ke seluruh penjuru tandah air Indonesia.
5.
Komponen
Peserta Didik (Warga Negara Indonesia)
Sasaran pendidikan nasional ditujukan
kepada warga negara Indonesia. Dia adalah peserta didik dalam kerangka sistem
pendidikan nasional yang ditempatkan sebagai masukan dasar (raw input) bagi
penyelenggaraan sistem pendidikan nasional. Rasionalnya, sesuai dengan jiwa
konstitusi, setiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran (Pasal 31 ayat 1
UUD 1945). Persamaan hak untuk mendapatkan pengajaran yang melekat pada diri
warga negara Indonesia, hendaknya harus jijadikan komitmen sekaligus solusi
oleh pemerintah dan penyelenggara pendidikan terkait serta bersandar pada
hak-hak rakyat Indonesia seluruhnya. Itulah ssebabnya, layanan pendidikan
kepada warga negara Indonesia harus dimaknai sebagai kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh pemerintah yang tidak bisa ditawar-tawar bahkan harus
diartikan sebagai kebutuhan yang paling mendesak.
6.
Komponen
Pelaksana Pendidikan
Boleh jadi, yang paling berkompeten
dalam komponen ini terutama pada tataran atas adalah Menteri Pendidikan
Nasional dan pada tataran atau lapangan terbawah adalah guru-guru. Sebagai
bagian dari eksekutif, Mendiknas akan mengambil kebijakan yang terbaik dalam
bidang pendidikan dalam menangkap aspirasi yang telah tercantum dalam UUD 1945
dan yang terkonseptualkan dalam GBHN.
Dalam rangka ini, sebuah kebijakan
pendidikan hendaknya diterapkan dengan memperhatikan beberapa pertimbangan
antara lain: manusiawi, demokratis, dan memperhatikan prinsip keadilan.
Pertimbangan tersebut menjadi penting, karena kebijakan pendidikan harus
bersifat jumanistis yang selalu bersandar pada potensi warga negara Indonesia
sebagai manusia dan komponen peserta didik. Sementara itu, kebijakan pendidikan
yang demokratis digunakan sebagai wacana. Penyelenggaraan pendidika tidak
dibenarkan jika bertentangan dengan hak-hak yang melekat pada diri warga negara
Indonesia. Dedangkan layanan atas dasar prinsip keadilan mengisyaratkan bahwa
setiap kebijakan pendidikan harus menghindarkan perilaku diskriminatif negara
(pemerintah), baik dalam penjaringan animo pendidikan maupun rekrutmen peserta
pendidikan. Sebuah contoh, kebijakan munculnya sekolah unggulan di Indonesia
harus benar-benar mampu mencerminkan ketiga tuntutan di atas yakni humanistik,
demokratis dan prinsip keadilan.
Untuk penyelenggara pendidikan tuingkat
bawah (guru-guru), mereka merupakan sumber daya manusia yang sangat penting
dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Justru guru-guru inilah yang
menempati posisi sentral dan sebagai ujung tombak bagi keberhasilan
penyelenggaraan pendidikan nasional.
7.
Komponen
Institutif (Lembaga Pendidikan)
Institusi pendidikan merupakan sebuah
ajang tempat kegiatan pendidika kitu dilaksanakan. Itulah sebabnya,
lembaga-lembaga pendidika yang ada, mulai dadri pendidika dasar, pendidikan
menengah sampai lembaga pendidika tinggi, hendaknya bernilai fungsional dalam
menyiapkan lingkungan belajar yang kondusif bagi terselenggaranya proses
pendidikan. Sarana dan prasaran pendidikan harus relatif memadai agar layanan
pendidikan dapat dilakukan dengan baik dan nyaman.
Dengan berbagai karakteristik yang
melekat pada setiap lembaga pendidikan dalam ketiga jenjang di atas, juga
diharapkan mampu bersinergi dalam rangka mempersiapkan warga negara yang andal,
yang memiliki wawasan kebangsaan luas, memiliki kesadaran akan cinta tanah air
dan bangsanya, tanpa menaggalkan wawasan lokalnya yang tumbuh dan berkembang di
daerah mereka bertempat tinggal.
8.
Komponen
Instrumental (kurikulum Pendidikan)
Kurikulum pendidikan ibarat menu yang
harus diberikan kepada peserta didik. Sebab, dalam kurikulum terkandung seperangkat
pengetahuan dan sejumlah pengalaman belajar yang harus disosialisasikan kepada
peserta didik. Jika menu pendidikan tidak bergizi, maka akan mempengaruhi
output pendidikan yaitu menghasilkan peserta didik yang kurus pengetahuan dan
pengalaman. Hasil pendidikan juga akan berpengaruh terhadap kompetensi peserta
didik dalam memecahkan masalah-masalah kehidupan dan proses pelibatan dirinya
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Itulah sebabnya
kurikulum pendidikan harus mampu menggambarkan rangkaian perjalanan kehidupan
peserta didik mula dari kemampuan awal sampai dengan kompetensi akhir yang
didiapat dalam mengikuti proses pembelajaran.
Berkaitan dengan itu isi kurikulum harus
disusun sedemikian rupa agar tidak merugikan output pendidikan nasional.
Pendekatan-pendekatan materi dalam kurikulum pendidikan harus selalu
berorientasi pada pertimbangan kualitas daripada kuantitasnya. Dengan demikian,
pengetahuan dan pengalaman yang dipersiapkan dalam kurikulumm mampu membawa
peserta didik dalam menatap kehidupan dengan cerah, arif dan bijaksana.
E. Eksistensi Program Pendidikan
Kewarganegaraan dalam Kerangka Kurikulum
Beberapa
persoalan yang hendak kita jawab untuk menempatkan Pendidikan Kewarganegaraan
meliputi: (1) pendidikan macam apakah Pendidikan Kewarganegaraan itu?, (2)
bagaimana posisi programatik Pendidikan Kewarganegaraan terhadap program
pendidikan nasional?, (3) adakah signifikansi aspek kurikuler Pendidikan
Kewarganegaraan dengan aspek kurikuler yang dikembangkan dalam dunia persekolahan?
1.
Karakteristik
Pendidikan Kewarganegaraan
a.
PKn
sebagai Pendidikan Nilai dan Moral
Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia
selama ini diarahkan pada pembentukan manusia yang berkualitas, yakni manisia
yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, cerdas, terampil,
berbudi pekerti luhur, kreatif, inovatif, dan bertanggung jawab terhadap
pembangunan bangsa. Hal ini selaras dengan keberadaan Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan (PPKn), yaitu mata pelajaran yang digunakan sebagai wahana mengembangkan
dan melestarikan nilai-nilai luhur dan moral yang berakar pada budaya bangsa
Indonesia. Nilai-nilai moral yang luhur tersebut diharapkan dapat diwujudkan
dalam bentuk perilaku sehari-hari siswa, baik sebagai individu maupun sebagai
anggota masyarakat dan makhluk ciptaan Tuhan YME (Depdiknas, 1999) dalam
Pendidikan Kewarganegaraan dalam Konteks Indonesia (Hakim, 2014).
Dalam kaitan itu, Pendidikan Pancasila
dan Kewarganegaraan (PPKn) bertujuan membentuk kepribadian warga negara yang
baik selaras dengan jjiwa dan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. PKn harus
mampu membekali kompetensi peserta terhadap pengetahuan kewarganegaraan (civic knoeledge), keterampilan
kewarganegaraan (civic skils), dan
etika atau karakter kewarganegaraan (civic
ethic atau civic disposition)
(KBK 2011) dalam Pendidikan Kewarganegaraan dalam Konteks Indonesia (Hakim,
2014). Dengan demikian PKn sangat potensial disebut sebagai pendidikan nilai
dan moral.
Nila atau dalam bahasa Inggris disebut value, diartikan sebagaiharga, penghargaan,
atau taksiran. Maksudnya adalah harga atau penghargaan yang melekat pada suatu
obyek. Obyek yang dimaksudkan di sini bisa berbentuk benda, barang, keadaan,
perbuatan, perilaku, peristiwa. Dengan demikian seseorang dapat berbicara
tentang nilai sebuah rumah, nilai dari sebuah tanda penghargaan, nilai dari
kehadiran seorang pemimpindi tengah-tengah rakyatnya, nilai dari peristiwa
pembakaran pencuri sepeda motor yang tertangkap, nilai dari penyerangan para
pejuang di markas tentara kolonial.
Manusia dalam hubungannya dengan sesama,
dan alam semesta, selalu mengadakan penilaian. Sikap menilai dari manusia
terhadap segala sesuatu yang ada di sekitarnya, baik materiil (jasmaniah)
maupun spiritual (rohaniah) selalu dihubungkan dengan kemanfaatan atau kegunaan
dari segala sesuatu bagi manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Penilaian adalah suatu sikap manusia yang didorong oleh aspek-aspek yang
terdapat di dalam dirinya, yakni aspek rasio (cipta), rasa, karsa dan budi
nurani.
Menurut Widjaja (1985) dalam Pendidikan
Kewarganegaraan dalam Konteks Indonesia (Hakim, 2014) menilai berarti menimbang
yaitu kegiatan membandingkan antara sesuatu yang lain (sebagai standard) untuk selanjutnya mengambil
keputusan. Keputusan itu dapat berarti baik atau buruk, benar atau salah, indah
atau tidak indah, berguna atau tidak berguna.
Nilai adalah sesuatu yang abstrak, bukan
sesuatu yang kongkrit, yang hanya bisa difikirkan, dipahami, dan dihayati.
Nilai berkaitan dengan cita-cita, harapan, keyakinan dan hal-hal lain yang
bersifat batiniah. Nilai adalah suatu kualitas, bukan kuantitas. Nilai adalah
sesuatu yang bersifat ideal, bukan faktual. Nilai berkaitan dengan das sollen (apa yang seharusnya), bukan das sein (apa yang senyatanya),
(Muchson, 2002) dalam Pendidikan Kewarganegaraan dalam Konteks Indonesia
(Hakim, 2014).
Sedangkan kata moral, sebagaimana dalam
kamus besar Bahasa Indonesia (1989), yang menjelaskan kata moral sebagai
sininim dengan akhlak, budi pekerti, atau susila. Menurut Wijaya, (1985), moral
adalahajaran baik dan buruk tentang perbuatan atau kelakuan (akhlak). Sementara
itu menurut Ghazali (1994), akhlak (sabagai padanan kata moral) adalah
perangai, watak, atau tabiat yang menetap kuat dalam jiwa manusia dan
mer5upakan sumber timbulnya perbuatan tertentu secara mudah dan ringan, tanpa
dipikirkan atau direncanakan sebelumnya. Rumusan lain tentang pengetian moral
adalah views about good and bad, right
and wrong, what ought or ought not to do...(Djahiri, 1992).
Konsep moral tidak dapat dilepaskan dengan
nilai. Keduanya merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan,
apalagi dalam konteks pendidikan. Berbicara tentang perilaku baik atau tidak
baik, manusia bermoral, ajaran baik dan buruk, tidak dapat dilepaskan dari
norma dan nilai sebagai kriteria untuk mengidentifikasi perilaku manusia yang
baik dan tidak baik.
Nilai merupakan sesuatu yang paling
dasar, sesuatu yang bersifat hakiki, esensi, intisari, atau makkna yang
terdalam (Muchson, 2002). Sebagaimana telah dikemukakan, nilai adalah sesuatu
yang abstrak, yaagn berkaitan dengan cita-cita, harapan, keyakinan, dan hal-hal
yang bersifat ideal. Agar hal-hal yang bersifat abstrak itu menjadi konkrit,
dan apa yang menjadi harapan itu menjadi kenyataan, maka diperlukan formulasi
yang lebih kongkrit dari nilai itu berwujud norma dengan berbagai jenisnya.
Norma yang berisi perintah atau
larangan, didasarkan pada suatu nilai yang dihargai atau dijunjung tinggi,
karena dianggap baik, benar, bermanfaat bagi manusia dan lingkungan masyarakat.
Dengan demikian, hubungan antara nilai dengan norman dapat dinyatakan bahwa
nilai merupakan sumber dari suatu norma. Norma adalah aturan-aturan atau
standar penuntun tingkah laku agar harapan menjadi kenyataan. Agar lebih jelas
dapat dicontohkan bahwa kejujuran merupakan suatu nilai dan anjuran membuang
sampah di tempat sampah merupakan suatu norma (Muchson, 2002). Sedangkan
bilamana membuang bungkus permen di sembarang tempat (moral), berarti melanggar
norma kesusilaan, serta melanggar nilai kebersihan.
Adapun moral dalam pengertian sikap dan
perbuatan yang baik, akhlak, budi pekerti, watak, atau tabiat adalah perwujudan
dari suatu norma. Perlu dikemukakan kembali bahw moral juga dapat dipahami
dalam tataran nilai, sehingga disebut nilai moral, serta dapat pula sipahami
dalam tataran norma, sehingga disebut norma moral. Dengan dimikian secara
hirarkis dapat dikemukakan bahwa nilai merupakan landasan norma, selanjutnya
norma menjadi dasar penuntun dari moral atau sikap dan perbuatan yang baik
(Rochmadi, 2008) dalam Pendidikan Kewarganegaraan dalam Konteks Indonesia
(Hakim, 2014).
b.
Pendidikan
Kewarganegaraan sebagai pendidikan untuk menjadi (educational for becoming)
Persoalan dilematis yang dihadapi
Pendidikan Kewarganegaraan sebagai pendidikan untuk menjadi, eksistensinya
berhadapan pada tiga masalah yakni: sebagai pendidikan nilai, pendidikan moral,
dan pendidikan budi pekerti. Dalam kaitan itu, fungsi ketiga pendidikan
tersebut mutlajk diperlukan bagiPendidikan Kewarganegaraan. Ketiganya
mengundang persoalan tersendiri bagi Pendidikan Kewarganegaraan untuk bisa
berkiprah dalam dunia pendidikan dan pengajaran di negara kita.
Berkaitan dengan ketiga masalah tersebut
bisa jadi timbul suasana tarik-menarik antara bidang studi dalam berebut
kapling pendidikan dan pengajaran yang pada gilirannya tidak akan menguntungkan
bagi peserta didik. Yang pasti kesadaran akan pendidikan nilai, moral, dan budi
pekerti mutlak diperlukan dalam menempatkan Pendidikan Kewarganegaraan dalam
kerangka pikir nasional.
Megatrens kehidupan yang ingin
dikembangkan oleh bangsa dan negara Indonesia ddewasa ini antara lain
dipusatkan pada persoalan demokratisasi, supremasi, dan kepastian hukum serta
merebaknya isu tentang hak-hak asasi manusia. Ketiga persoalan bangsa dan
negara tadi diharapkan mampu membantu menemukan jati diri dan sekaligus
mengangkat martabat bangsa dan negara Indonesia dalam konstelasi bangsa-bangsa
di dunia.
Pendidikan Kewarganegaraan hendaknya
juga memgokuskan ruan geraknya pada sekitar trens di atas, dengan orientasi
garapannya sebagai laboratorium demokrasi. Dengan orientasi itu, Pendidikan
Kewarganegaraan akan diharapkan mampu menggidik persoalan kedaulatan rakyat
yang senada dengan posisi negara Indonesia sebagai negara demokrasi. Dari sini
dapat dijabarkan, terutama dalam menangakap sebuah fenomena sikitar hak dan
kewajiban warga negara dan negara, terutama dalam bidang politik konstirusi dan
konteks sosial pada umumnya yang berlangsung secara empirik yang dialami oleh
warga negara.
Sebagai laboratorium demokrasi,
Pendidikan Kewarganegaraan tidak saja terbatas pada ruang gerak yang bersifat
normatif, akan tetapi juga persoalan praktik hak dan kewajiban yang terjadi
dalam kehifupan yang bersifat empirik. Dengan demikian, Pendidikan Kewarganegaraan
tidak saja mampu menangkap fenomena yang seharusnya akan tetapi juga fenomena
yang senyatanya. Realitas penenrapan hak dan kewajiban yang berkemkbang dalam
kehidupan akan dibahas secara akademik ilmiah dengan menggunakan rujukan
konstitusi sebagai norma tertinggi bagi bangsa dan negara. Selanjutnya.
Informasi tentang pelaksanaan hak dan kewajiban yang berdasarkan kriteria
konstirusi digunakan referensi etika moral negara dan warga negara yang
kemkudian diaplikasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Agar tidak terjadi distorsi materi yang
bersifat normatif dengan realitas praktik hak dan kewajiban dalam kehidupan,
pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, seyogianya tidak hanya memberikan
materi mana yang sebaiknya melainkan juga perlu menunjukkan materi praktik hak
dan kewajiban yang tidak sesuai dengan jiwa lonstitusi. Pengalaman masa lalu,
kenyataan yang ada dalam dunia pendidikan kita hanya mampu memberikan hal-hal
yang positif kpada peserta didik. Beberapa kasu tentang praktik hak dan kewajiban
yang bersifat negatif tidak mungkin disajikan karena kuatnya hegemoni negara.
Lebih ekstrem, dunia pendidikan telah digunakan sebagai instrumen politik
kekuasaan negara, dengan dalih bahwa pelaksanaan pedidikan yang tidak segaris
dengan kebijaksanaan negara dipandang sebagai tindakan yang tidak loyal.
Semenjak reformasi situasi telah
berubah. Kran demokrasi telah dibuka lebar-lebar palu hukum akan ditempatkan
pada propori keadilan dan hak-hak asasi manusia diharapkan dapat terlindungi
dan terlayani serta dapat dihormati sebagaimana mestinya. Guru atau calon guru
harus berani menyatakan yang benar itu benar dan yang salah itu slah. Hal-hal
yang berifat kontroversial tentang pelanggaran hak dan kewajiban sebaiknya
diberikan secara transparan kepada peserta didik.
Sebuah contoh, menjamurnya kasus-kasus
korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di negara kita akan lebih baik digunakan
sebagai wacana isu kontroversial tentang pelanggaran hak asasi manusia (HAM)
dan konstitusi. Jika kita komitmen dengan realitas itu, kiranya hal tersebut
dapat digunakan sebagai salah satu jembatan dalam membangun pencerahan
legitimasi (kepercayaan) peserta didik terhadap eksisitensi mata pelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan. Demikian juga par penulis buku pelajaran kiranya juga
akan sangat menunjang apabila materi produk buku-buku teksnya diberi nuansa dan
persepsi yang senada.
c.
PKn
wahana pengembangan daya nalar dan berpikir kritis peserta didik
Stenley E, Dimond (1970) dalam Civic for Citizens menegaskan bahwa
salah satu indikator warga negara yang baik adalah sebagai seorang pemikir.
Secara demikian Pendidikan Kewarganegaraan harus diposisikan sebagai wahana
pengembangan daya nalar peserta didik.
Berpikir adalah berbicara dengan diri
sendiri mempertimbangkan, menganalisa dan membuktikan, bertanya mengapa dan
untuk apasesuatu terjadi. Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, tentu
diperlukan akal untuk berpikir secara benar. Orang mengatakan berpikir yang
baik adalah berpikir yang logis.
Berpikir secara logis adalah berpikir
tepat dan benar yang memerlukan kerja otak dan akal sesuai dengan ilmu-ilmu
logika. Setiap apa yang ingin diperbuat hendaknya diseduaikan dengan keadaan
yang ada pada dirinya masing-masing. Jika hal tersebut sesuai dengan kenyataan
dan apabila dikerjakan mendapat keuntungan maka segera dilaksanakan. Dengaan
memberdayakan otak manusia mampu melakukan kinerja berpikir secara kritis.
Menurut Halpen (dalam Arief Achmad,
2007), menegaskan berpikir kritis adalah memberdayakan ketrampilan atau
strategi kognitif dalam menentukan tujuan. Proses tersebut dilalui setelah
menentukan tujuan, mempertimbangkan, dan mengacu langsung kepada
sasaran-merupakan bentuk berpikir yang perlu dikembangkan dalam rangka
memecahkan masalah, merumuskan kesimpulan, mengumpulkan berbagai kemungkinana,
dan membuat keputusan ketika menggunakan semua ketrampilan tersebut secara
efektif dalam konteks dan tipe yangtepat. Berpikir kritis juga merupakan
kegiatan penilaian, mempertimbangkan kesimpulan yang akan diambil ketika
menentukan beberapa faktor pendukung untuk membuat keputusan.
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan
YME, yang dilengkapi dengan akal pikiran. Tanpa akal manusia tidak akan bisa
berkarya. Hanya dengan akal dan fikiran manusia dapat berubah taraf
kehidupannya.Namun, manusia tidak pernah puas dengan keadaan yang ada, mereka
selalu ingin merubah keadaan yang menimbulkan perubahan sehingga tercipta dunia
maju.
Warga negara yang baik harus selalu
berpikir terhadap negaranya supaya menjadi lebih baik. Membangun rasa
kebangsaan dan cinta tanah air tidak muncul tba-tiba melainkan melalui proses
berpikir. Ada seperangkat potensi mengapa orang bersikap demikratis, mengapa
harus loyal kepada negara, mengapa harus belajar giat demi kemajuan bangsa dan
negaranya.
Melalui Pendidikan Kewarganegaraan dapat
dibangun sebuah penalaran nasional peserta didik yang mampu terlibat aktif
dalam proses pengambilan keputusan baik dalam institusi pendidikan maupun dalam
masyarakatnya. Di sisni tampak pula letak pentingnya program Pendidikan
Kewrganegaraan yang ditujukan untuk mengembangkan kesadaran akan hak-hak dan
kewajiban individu sebagai warga negara.
d.
PKn
sebagai laboratorium demokrasi dan pemberdayaan civil society
1)
PKn
sebagai laboratorium demokrasi
Sebagai laboratorium demokrasi PKn harus
diperankan sebagai wahana mempertemukan perbedaan yang melekat pada diri warga
negara menuju pada kesepakatan, komitmen dan saling memberdayakan. Pendidikan
Kewarganegaraan pada dasarnya termasuk bagian integral dari bidang pendidikan
sosialyang memiliki visi dan misi pengembangan democratic and beliefs (NCSS, 1992) atau rasa tanggujawab
kemasyarakatan dan kebangsaan yang oleh Lickona (1992) ditegaskan sebagai respect and responsibility yang
diyakininya sebagai inti dari karakter warga negara yang cerdas dan baik.
Menurut Welton dan Mallan (dalam Winataputra, 1999) bahwa secara ontologis
bidang pendidikan sosial memusatkan perhatian pada things social, yaitu segala yang menyangkut kehidupan manusia
sebagai warga masyarakat yang memiliki sifat multidimensional, holistik, dan
peka terhadap perubahan. Oleh karena itu paradigma bidang pendidikan sosial
termasuk pendidikan kewarganegaraan perlu melihat secara holistik dan
kontekstual dalam tataran ideal, instrumental, dan praksis kehidupan
bermasyarakat bangsa, bernegara serta bermasyarakat global.
Pendidikan kewarganegaraan harus
disikapi dan diperlakukan sebagai bidang kajian ilmu kependidikanyang
memusatkan perhatian pada pengemmbangan warga negara yangcerdas, demokratis,
dan religius. Dalam rangka ini pendidikan kewarganegaraan harus dipandang
sebagai gerakan sosila-budaya kewarganegaraan yang secara sinergistik dilakukan
dalam upaya membangun kebajikan warga negara (civic virtue) dan budaya
warga negara (civic culture)yang
secara realitas mampu memahami perbedaan-perbedaan, dan menyelesaikan persoalan
kehidupan secara demokratis, cerdas, dan religus.
Sementara itu, Cogan (19198)
mengidentifikasi karakteristik yang perlu dimiliki oleh seorang warga negara,
yang antara lain: (1) ability to
understand, accept, and tolerate cultural differencass (kemampuan untuk
memahami dan menerima perbedaan budaya); (2) capacity to think in a critical and systimatic way (kemampuan untuk
berpikir kritis dan sistematis); (3) willingness
to revolve conflict in a non-violent manner (kemampuan menyelesaikan
konflik tanpa kekeraan); (4) ability to
work with others cooperative way to take responsibility for one’s rule/duties
within siciety (memiliki kemampuan untuk bekerjasama dengan orang lain dan
memikul tanggungjawab atas peran dan kewajibannya dalam masyarakat); (5) ability to sensitive towards and to defend
human rights (memiliki kepekaan terhadap hak-hak asasi manusia); (6) ability to participate in politics at local,
national, and international levels (kemampuan berpartisipasi dalam politik
pada tingkat lokal, nasional, dan internasional).
2)
PKn
sebagai wahana pemberdayaan civil society
Konsep civil society memiliki atribut adanya sikap dan tindakan warga yang
bebas dari tindakan kekerasan. Dalam masyarakat keberadaban atau madani,
terkandung konsep adanya pengakuan dan peneriamaan terhadap kebhinekaan, baik
eynik, agama, ras, golongan, kesemuanya ditempatkan secara equalitas atau
kesederajatan. Dalam hub8ngannya dengan civil
society tersebut, Langenberg (1996) mengklasifikasi antara lain terdiri
dari: kelompok-kelompok dan perkumpulan, pendidikan, tenaga kerja, bisnis,
partai politik, organisasi keagamaan, profesi, perdagangan, media, seni,
kelompok lokal, keluarga dan perkumpulan kekerabatan.
Kajian tentang civil society Hikam dalam Demokrasi
dan Civil Society menegaskan bahwa civil
society di Indonesia berkembang dengan penuh paradoks. Oleh karena tu
pemberdayaan masyarakat sipil bagi masyarakat Indonesia mutlak diperlukan.
Terlebih jika dikaitkan dengan masyarakat Indonesia yang majemuk. Penghormatan
terhadap hak asasi manusia yang melekat pada seluruh potensi bangsa, menjadi
pilihan rasional yang utama agar tercipta kehidupan yang demokratis serta
mengedepankan kesatuan dan persatuan bangsa. Secara sosio kultural, strategi
pemberdayaan civil society yang
paling strategis dilaksanakan lewat pendidikan. Sebab, upaya demokratisasi
budaya hanya dapat dilaksanakan dengan cara penanaman dan pengembangan secara
terus-menerus budaya civil melaui
pendidikan yang sosialisasinya bisa
lewat sekolah, komunitas, organisasi sosial budaya.
PKn hendaknya diasumsikan sebagai satu
alternatif untuk menjawab upaya pemberdayaan masyarakat. Dalam rangka ini
Pendidikan Kewarganegaraan diharapkan mampu beraktualisasi terutama dalam
konsentrasinya untuk menggarap hak dan kewajiban warga negara sehingga memiliki
kepribadian yang baik, demokratis, bertanggungjawab.
Tugas utam Pendidikan Kewarganegaraan
adalah memberikan informasi tentang hubungan negara dengan warga negara. Hal
inii senada dengan konsep Pendidikan Kewarganegaraan yang senantiasa komitmen
dalam mengajarkan keragaman latar belakang kebudayaan peserta didik sebagai
kekuatan dalam membentuk sikap warga negara.
Dalam wacana civil societynegara harus diposisikan sejajar dengan warga negara.
Jika salah satu diantaranya mengingkari komitmen konstitusi sebagai standar
normatif, maka hubungan itu akan terkoyak dan masyarakat sealu berada pada
posisi yang lemah.Melalui instrumen kekuasaan negara bisa melakukan cara yang
kasar atau cara yang paling halus untuk mengelabuhi masyarakat agar legitimasi
selalu mengalir kepada negara.
2.
Pendidikan
Kewarganegaraan Bersifat Sentral
Dalam kerangka penyelenggaraan
pendidikan nasonal, Pendidikan Kewarganegaraan menempati kedudukan yang
sentral. Rasionalnya program Pendidikan Kewarganegaraan memiliki keterkaitan
langsung dengan program pendidikan nasional. Hal itu tampak, ketika aspekk
program Pendidikan Kewarganegaraan dipersepdikan dalam mendukung tujuan pendidikan
nasional. Pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila banyak memiliki
signifikansi dengan Pendidikan Kewarganegaraan, terutam jika dikaitkan dengan
landasan ideologis dan konstitutif yang digunakan yaitu Pancasila dan UUD 1945.
Signifikansi lain, tampak jelas jika
ditelusuri dari target garapn masing-masing Pendidikan Kewarganegaraan yang
bertujuan membentuk kepribadian warga negara yang baik berkaitan langsung
dengan upaya pembentukan manusia Indonesia yang berkualitas sebagaimana
digambarkan dalam tujuan pendidikan nasional. Dengan demikian substansi garapan
dua program pendidikan tersebut pada hakikatnya memiliki kesamaan terutama
dalam menggarap kepribadian warga negara yang baik dan berkualitas.
3.
Pendidikan
Kewarganegaraan Memiliki Posisi Strategis dalam Kerangka Kurikulum Persekolahan
Secara kurikuler penyelenggaraan
pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila disadari tidak akan cukup hanya
diwakilkan pada bidang studi atay mata pelajaran Pendidika Pancasila dan
Kewarganegaraan (PPKn) atau Pendidikan Kewarganegaraan dalam mengisi jiwa
kurikulum yang berbasis pada kompetensi. Bidang-bidang studi lain pada dasarnya
memiliki misi yang sama, terutama dalam mengajarkan nilai-nilai ideologis dan
moral Pacasila serta nilai-nilai konstitutif UUD 1945 sebagai hukum dasar
negara yang tertinggi. Oleh karena itu, tidak dibenarkan adanya upaya
memutarbalikkan fakta bahwa hanya ada satu bidang studi yang mendominasi serta
melakukan klaim paling berkompeten untuk mengajarkan nilai-nilai dan moral
luhur bangsa Indonesia. Masing-masing
bidang studi dalam kurikulum sekolah hendaknya disikapi sejajar dan memiliki
kontnribusi yang sama dalam upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional.
Kendatipun demikian Pendidikan
Kewarganegaraan diharapkan mampu merefleksi fungsinya dalam kapasitas sebagai
pendidikan nilai, moral, dan budi pekerti bangsa serta etika nasional bangsa
Indonesia, yaitu Pancasila. Penegasan itu diharapkan tidak terjadi overlaping
antara Pendidikan Kewarganegaraaaan dengan Pendidikan Agama yang pada dasarnya
juga merupakan pendidikan moral dan etika. Pendidikan Agama depetakan
berdasarkan konsesp dan pendekatan agama-agama ssedangkan Pendidikan
Kewarganegaraan di peta berdasarkan embrio kepribadian bangsa Indonesia sebagao
budi pekerti nasional. Perlu disadari penegasan ini juga tidak bermadsud untuk
merendahkan eksistensi pendidikan agama dalam konteks pendidikan nasional,
namun lebih dipusatkan dalam upaya memperjelas pembagian kapling pengajaran
agar tidak terjadi benturan farapan akhir dari masing-masing bidang studi yang
dimaksud.
Persoalan iman dan ketakwaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa lebih dominan digarap oleh Pendidikan Agama, dengan
pertimbangan Pendidikan Kewarganegaraan banyak menggunakan referensi pendidika
agama, sedangkan persoalan budin pekerti nasional lebih banyak ditangani oleh
Pendidikan Kewarganegaraan.Penegasan lain, diharapkan bahwa misi Pendidikan
Agama tidak dicampuradukkan dengan misi dalam meraih posisi dalam konstelasi
politik nasional sehingga menyebabkan kaburnya substansi pendidikan tersebut.
Jika hal ini terjadi eksistensi pendidikan agama akan berubah menjadi kompetisi
agama-agama dalam memperoleh kekuasaan. Tentunya hal demikian tidak diharapkan
terjadi dalam kehidupan bangsa Indonesia yang salah satunya menganut paham
pluralitas dalam beragama.
Dalam konteks itu, nilai strategis
Pendidikan Kewarganegaraan berperan untuk memotori program transformasi nilai,
moral, dan budi pekerti bangsa dan sekaligus sebagi wahana dalam mengembangkan
wawasan warga negara dalam kerangka pikir nasionla, yang substansinya digali
dari nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 serta buday bangsa yang tumbuh dan
berkembang dalam kawasan lokal. Pendidikan Kewarganegaraan bisa jadi juga
berperan sebagai jembatan penghubung dari konsisi bangsa Indonesia yang
bersifat pluralistis, yamg sebenarnya lebih menampakkan masyarakat yang rentan
akan konflik. Dalam kaitan ini, maka target Pendidikan Kewarganegaraan adalah
membangun pola pikir peserta dididk yang mampu bersikap akomodatif serta memadu
dalm keseimbangan guna menghindari terjadinya konflik dan disintegrasi bangsa
terutama dalam menuju masyarakat sipil yang dicita-citakan oleh bangsa
Indonesia dewasa ini.
Konsep civil society memiliki atribut
adanya sikap dan tindakan warga yang bebas dari tindakan kekerasan. Dalam
masyarakat keberadaban atau madani terkandung konsep adanya pengakuan dan
penerimaan terhadap kebhinekaan, baik etnik, agama, ras, dan golongan. Semuanya
ditempatkan secara sederajat. Dalam hubungannya dengan civil society tersebut
Langenberg (1996) mengklasifikasikan antara lain terdiri atas kelompok-kelompok
dan perkumpulan, pendidikan, tenag kerja, bisnis, partai politik, organisasi
keagamaan, profesi, perdagangan, media, seni, kelompok lokal, keluarga, dan
perkumpulan kekerabatan.
Civil society di Indonesia berkembang
dengan penuh paradoks. Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat sipil bagi
masyarakat Indonesia mutlak diperlukan. Lebih-lebih jika dikaitkan dengan sifat
masyarakat Indonesia yang serba majemuk. Penghormatan terhadap hak asasi
manusia yang melekat pada seluruh potensi bangsa, kiranya menjadi pilihan
rasional yang pertama dan utama agar tercipta suasan kehidupan yang demokratis
dan senantiasa mengedepankan persatuan daan kesatuan bangsa.
Dalam
rangka ini, Pendidikan Kewarganegaraan diharapkan mampu beraktualisasi terutama
dalam konsentrasinya untuk menggarap hak dan kewajiban warga negara sehingga
memiliki kepribadian yang baik, demokratis, dan bertanggung jawab.