BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Warga negara memiliki
peran yang vital bagi keberlangsungan sebuah negara. Oleh karena itu, hubungan
antara warga negara dan negara sebagai institusi yang menaunginya memiliki aturan
atau hubungan yang diatur dengan peraturan yang berlaku di negara tersebut.
Agar dapat memiliki status yang jelas sebagai warga negara, pemahaman akan
pengertian, sistem kewarganegaraan serta hal-hal lain yang menyangkut warga
negara hendaknya menjadi penting untuk diketahui. Dengan memiliki status
sebagai warga negara, orang memiliki hubungan dengan negara.
Masalah Warga negara
dan Negara perlu dikaji lebih jauh, mengingat Demokrasi yang ingin ditegakkan
adalah Demokrasi berdasarkan Pancasila. Aspek yang terkandung dalam Demokrasi Pancasila
antara lain adalah adanya kaidah yang mengikat Negara dan Warga negara
dalam bertindak dan menyelenggarakan hak dan kewajiban serta
wewenangnya. Secara material adalah mengakui harkat dan martabat Manusia
sebagai makhluk Tuhan, yang menghendaki Pemerintahan untuk membahagiakannya,
dan memanusiakan Warga negara dalam Masyarakat Negara dan masyarakat
bangsa-bangsa.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Apa
yang dimaksud dengan Peta Normatif Hubungan Negara dan Warga Negara ?
2. Apa
itu Legitimasi dan Korporatisasi Negara ?
3. Apa
yang dimaksud dengan Negara dan Warga Negara (Refleksi Masa Orde Baru) ?
4. Apa
itu Pemerintahan Reformasi ?
5. Apa
itu Kaji Banding Paradigma Hubungan Negara dan Warga Negara (Kasus Orde Baru
dan Pemerintahan Reformasi) ?
C.
TUJUAN
1. Untuk
mengetahui Peta Normatif Hubungan Negara dan Warga Negara
2. Untuk
mengetahui Legitimasi dan Korporatisasi Negara
3. Untuk
mengetahui Negara dan Warga Negara (Refleksi Masa Orde Baru)
4. Untuk
mengetahui Pemerintahan Reformasi
5. Untuk
mengetahui Kaji Banding Paradigma Hubungan Negara dan Warga Negara (Kasus Orde
Baru dan Pemerintahan Reformasi)
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Peta
Normatif Hubungan Negara dan Warga Negara
Konsep hubungan antara warga negara
dengan negara masih sering menimbulkan persoalan yang bersifat dilematis.
Hubungan antara warga negara dan negara juga kerap kali dipersepsikan dalam
bahasa yang ‘latah’. Apakah dalam proses hubungan itu negara harus berada di
atas warga negara ataukah justru menempatkan keduanya dalam hubungan
kesejajaran. Apakah negara harus mencampuri urusan asasi warga negara ataukah
sebuah perlakuan yang ‘ditabukan’.
Dalam wacana Pendidikan Kewarganegaraan,
negara harus diposisikan sejajar dengan warga negaranya. Masyarakat (warga
negara) tidak dilawankan dengan negara, akan tetapi justru dipersepsikan
sebagai ‘mitra’ hubungan antara keduanya. Selama negara masih berada di atas
warga negara atau masyarakat, maka hubungan antara keduanya tidak akan bisa
berlangsung secara harmonis. Padahal, keharmonisan ini menjadi kata kunci yang
menentukan segala-galanya.
Dalam hal itu, Gouldner (1998)
menegaskan bahwa hubungan antara masyarakat dan negara tidak selalu selamanya
berkonotasi normatif, tetapi juga bersifat empirik. Secara normatif, bahwa
hubungan negara dan warga negara harus selalu berpegang pada hak dan kewajiban
yang melekat antara keduanya, sehingga proses dialogisnya berlangsung secara
demokratis, adil, dan harmonis dengan bersandar pada norma yang dipersyaratkan
oleh konstitusi. Sedangkan secara empirik bisa jadi justru melanggar norma
bangsa dan negara yang telah disepakati bersama.
Untuk membangun hubungan antara
negara dengan warga negara secara adil dan berimbang, normatif dan etik, dapat
ditempuh dengan langkah-langkah berikut:
1.
Inventarisasi variabel yang melekat pada
diri warga negara;
2.
Inventarisasi variabel yang melekat pada
organisasi negara;
3.
Menghubungkan variabel yang melekat pada
diri warga negara dengan variabel yang melekat pada organisasi negara;
4.
Mempersepsikan hubungan kedua variabel
(warga negara dan negara) identik dengan hubungan hak dan kewajiban antara
keduanya; dan
5.
Menara dasar norma sebagai ‘pembenar’ hubungan
antara warga negara dengan negara, yang bersumber dari jiwa dan nilai-nilai
konstitusi.
Hubungan negara dan warga negara
tidak berlangsung menurut gradasi (tingkatan) yang vertikal, melainkan menjadi
hubungan yang sederajat. Masing-masing memiliki nilai fungsional sendiri dan
terjalin secara interaktif dalam pemetaan secara sistematik. Negara tidak
dibenarkan mendominasi warga negara, begitu juga warga negara tidak dibenarkan
secara anarkis menjatuhkan negara.
B.
Legitimasi
dan Korporatisasi Negara
Hubungan
antara negara (pemerintah) dengan warga negara (rakyat atau masyarakat)
berkaitan dengan persoalan ‘pengakuan’ antara dua komponen itu. Ditilik dari
sisi negara, maka legitimasi merupakan penerimaan dan pengakuan masyarakat
(yang pimpin) terhadap negara atau hak-hak yang memimpin (Surbakti, 1992). Oleh
sebab itu, legitimasi selalu mempersoalkan sikap masyarakat atas kewenangan
pemerintah dalam membuat dan melaksanakan keputusan politiknya. Jika masyarakat
menerima hak dan wewenang pemerintah untuk aktivitas itu, berarti negara
(pemerintah) telah mendapatkan legitimasi dari masyarakat. Sedangkan dari sisi
masyarakat, legitimasi muncul lebih banyak berkaitan dengan persoalan pengakuan
atas hak-hak yang melekat pada komunitas sosial masyarakat atau warga negara.
Legitimasi
selain diperlukan oleh negara juga diperlukan oleh masyarakat dan sistem
politik secara keseluruhan. Dalam kaitan ini, Andrain (dalam Surbakti, 1992),
menyebutkan lima obyek sasaran legitimasi, yakni: komunitas politik, hukum,
lembaga politik, pemimpin politik dan kebijakan. Kelima obyek tersebut memiliki
hubungan secara kumulatif dan hierarkis. Artinya, jika obyek yang pertama tidak
mendapatkan dukungan dari masyarakat, maka obyek-obyek berikutnya juga tidak
akan mendapatkan dukungan.
Dalam
mendapatkan atau mempertahankan legitimasinya dari masyarakat, negara
senantiasa melakukan serangkaian upaya untuk mencapai tujuan tersebut. Dengan
berbagai cara, negara bisa memanfaatkan potensi masyarakat sebagai instrumen
legitimasinya. Dengan demikian terjadilah korporatisasi negara terhadap
masyarakat. Pada umumnya, cara-cara memperoleh legitimasi dapat dikelompokkan
menjadi tiga jenis, yaitu dengan cara simbolis, cara prosedural dan dengan cara
material. Cara pertama, dilakukan dengan memanipulasi
kecenderungan-kecenderungan moral, emosional, tradisi, kepercayaan, dan
nilai-nilai budaya yang pada umumnya dalam bentuk simbol. Cara kedua, dilakukan
dengan menyelenggarakan pemilihan umum untuk menentukan wakil-wakil rakyat,
presiden dan wakil presiden, dan para anggota para lembaga tinggi lainnya serta
referendum untuk mengesahkan kebijakan umum. Cara ketiga, dilakukan dengan
menjanjikan atau memberikan kesejahteraan material kepada masyarakat, seperti
jaminan tersedianya kebutuhan dasar (basic
needs), fasilitas kesehatan dan pendidikan, sarana komunikasi transportasi,
sarana ibadah, seni dan hiburan dan sebagainya.
Sementara
itu, korporatisasi lebih banyak berlatar dari kondisi sebuah masyarakat yang
bersifat pluralistis. Dalam pandangan pluralis, suatu masyarakat terdiri dari
kelompok-kelompok kepentingan (interest
group) yang diawasi oleh negara. Inisiatif dan gaya gerak masyarakat
berasal dari kelompok-kelompok yang dijalankan oleh pihak swasta. Dalam
pandangan korporatis, negara tetap dinomorsatukan, dan kepentingan kelompok
ditentukan berdasarkan hubungannya dengan negara. Di samping itu, kaum
korporatis beranggapan bahwa hubungan antara negara dan kelompok kepentingan
dalam masyarakat itu dibentuk oleh hubungan tukar-menukar dengan negara.
Menurut
Schmitter, sebagaimana dikutip oleh Maswadi Rauf (dalam Budiardjo, 1996),
korporatisasi mengandung unsur-unsur : (1) sistem perwakilan rakyat; (2)
pengorganisasian kelompok-kelompok kepentingan dalam jumlah yang kecil oleh
negara dengan sifat non-kompetitif dan berbeda secara fungsional; (3)
organisasi-organisasi tersebut diakui, diberi izin atau bahkan dibentuk oleh
negara; (4) pemberian monopoli untuk mewakili anggota-anggota; dan (5) adanya
kepatuhan kepada penguasa politik yang menentukan pimpinan organisasi dan
artikulasi serta dukungannya.
Dengan
korporatisasi, peranan negara nampak besar terutama dalam menggalang kerja sama
dengan berbagai kelompok kepentingan di dalam masyarakat. Hal ini lebih
menampakkan adanya tradisi demokrasi, khususnya tugas negara dalam menghormati
hak-hak bagi kelompok kepentingan dalam masyarakat. Ketiadaan tradisi demokrasi
akan melahirkan dominasi negara, dan pada gilirannya mendorong negara untuk
mempersempit kebebasan bagi organisasi-organisasi di dalam masyarakat. Itulah
sebabnya, berbagai kelompok kepentingan yang muncul di dalam masyarakat perlu
dirangkul oleh negara agar tuntutan-tuntutan mereka tidak menimbulkan konflik,
gangguan stabilitas dan politik.
Dalam
pandangan Pendidikan Kewarganegaraan , korporatisasi masih diperlukan
lebih-lebih bagi masyarakat Indonesia yang serba majemuk. Namun demikian,
ketika negara ingin mengadakan hubungan dengan masyarakat, warga negara dan
rakyat, nuansa korporatisasi hendaknya selalu diberi label, ‘bukan dominasi’
akan tetapi harus berlangsung lewat ‘dialogis secara mendalam’. Hal ini
berarti, korporatisasi negara tidak lagi menggunakan pendekatan ‘gradasional’
(bertingkat) akan tetapi lebih ditekankan pada hubungan yang bersifat
‘kemitraan dan kesejajaran’. Negara juga lebih banyak memberikan kebebasan pada
masyarakat (civil society) untuk
lebih berdaya. Jadi dalam Pendidikan Kewarganegaraan diharapkan adanya saling
memberdayakan dan memberadabkan antara negara dan warga negara (empowering and civilizing).
C.
Negara
dan Warga Negara (Refleksi Masa Orde Baru)
Tumbangnya pemerintahan Orde Lama,
yang disusul dengan lahirnya pemerintahan Orde Baru, pada awalnya memang
diharapkan mampu membawa kehidupan politik bangsa ini ke arah angin segar.
Sebuah orde pemerintahan yang dirancang dan menempatkan dirinya sebagai
korektor total terhadap segala penyelewengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
(UUD) 1945 dari posisi proporsionalnya, yakni sebagai landasan pembangunan di
segala bidang.
Dengan slogan ‘Pembangunan yes’ dan ‘politik no’, Orde Baru bertekat akan mengantarkan potensi rakyat sebagai
modal dalam pembangunan nasional. Pembangunan ekonomi ditempatkannya sebagai ‘spektrum sentral’, dan sementara itu
konsep ‘politik sebagai panglima’ tampak diabaikan. Selain itu, Orde Baru telah
mampu memotret dirinya sebagai ‘Orde Pembangunan’ yang memiliki komitmen dalam
menegakkan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Logika
pembangunan pada gilirannya juga digunakan sebagai upaya penekanan arti penting
persatuan dan kesatuan bangsa dan stabilitas nasional. Lebih tajam lagi, bahwa
untuk menciptakan persatuan nasional hanya mungkin dilakukan di bawah
kepemimpinan nasional.
Dalam kaitan itu, paradigma
pembangunan pada masa Orde Baru di peta sedemikian rupa, di mana negara
(pemerintah) bertanggung jawab sebagai ‘patron’
(bapak) dan warga negara (rakyat) dipandang sebagai ‘client’ (anak). Realita ini pada dasarnya merupakan indikator
adanya praktek perspektif kultural Jawa (terutama konsep ‘momong’ dan ‘momongan’)
yang diformatkan dalam politik Orde Baru. Dengan konsep ‘momong’, berarti negara (pemerintah) akan melakukan tugas untuk
menjaga dengan penuh kasih sayang; sedangkan konsep ‘momongan’ mengungkapkan tugas dan tanggung jawab yang lebih berat
pada subyek yang ‘diemong’ (diasuh). Konsep-konsep ini, relevan dengan konsep
kepemimpinan nasional yang dikembangkan oleh Orde Baru saat itu.
Gagas pemerintahan dan kepemimpinan
nasional Orde Baru tersebut, ternyata dalam prakteknya justru banyak
mengecewakan rakyat. Hal ini disebabkan oleh solusi pemerintah dan pembangunan
bukan lagi diarahkan demi kesejahteraan rakyat banyak, akan tetapi nampak
sebaliknya yang mengarah pada kepentingan partai pemerintah, golongan, rezim,
keluarga serta pemerintah itu sendiri.
Lebih parah lagi, Orde Baru
membangun sebuah strategi kepemimpinan moral dan intelektual yang sangat
‘canggih’ lewat pemerintahan ‘hegemoni’ yang dipadu dengan kekuatan militer.
Itulah sebabnya , tidak jarang jika ada warga negara yang melancarkan kritik
terhadap kebijakan pemerintah, dianggap mengganggu stabilitas politik dan
keamanan nasional. Dan karena itu, cara-cara ‘gebug’, ‘sikat’, ‘libas’,
‘tangkap’, ‘OTB’, ‘subversif’ dan sebangsanya pasti akan muncul. Kritik apa pun
yang dilancarkan oleh masyarakat, memang dirasakan tidak pernah mendapat tempat
dalam pemerintahan Orde Baru.
Selain itu, dalam tataran
birokrasi, Orde Baru lebih banyak menampakkan pemerintahan yang sentralistis.
Hal ini nampak dalam pola pengambilan keputusan elite politik di tingkat atas,
yang menempatkan pemegang posisi puncak kekuatan yang sangat dominan. Misalnya
dalam upaya pengorbitan ‘konsensus nasional’ mengenai asas tunggal Pancasila,
tidak menampung aspirasi arus bawah. Dampak dari aplikasi konsep kekuasaan seperti
itu, akan melahirkan budaya ‘ewuh-pakewuh’
di kalangan elite dan celakanya juga bagi seluruh warga negara Indonesia.
Kondisi demikian, nampaknya sudah
tidak dapat dipertahankan lagi. Orde Baru sudah sangat jauh menghegemoni
seluruh potensi bangsa yang tidak menguntungkan demokratisasi dan hak-hak asasi
manusia. Rakyat sudah tidak sabar lagi membiarkan hal itu semakin panjang.
Akhirnya, lewat Gerakan Reformasi Total, yang banyak digulirkan oleh mahasiswa,
akademisi, aktivis politik, dan HAM serta LSM dan sebagainya, maka pada tanggal
21 Mei 1998, presiden Soeharto jatuh, dan turun dari ‘singgasana’
kepresidenannya.
Kinerja pemerintah yang diteruskan
oleh ‘pemerintahan transisi’ yang dipimpin oleh Habibie, nampak juga tidak
diterima oleh rakyat, lantaran agenda pemerintahannya masih menggunakan gaya
lama dan selalu berada di bawah bayang-bayang Orde Baru. Kesalahan yang paling
fatal oleh pemerintahan ini, lepasnya wilayah Timor Timur dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI), yang secara politis dan finansial banyak merugikan
negara dan bangsa kita. Sebagai klimaksnya, Habibie terpaksa harus menerima
untuk berhenti di tengah jalan, akibat laporan pertanggungjawabannya ditolak
dalam sidang MPR hasil Pemilu 1999. Presiden terpilih selanjutnya adalah Abdurrahman
Wahid, yang duet dengan ‘saudaranya’, yaitu Megawati Soekarno Putri sebagai
wakil presiden.
Sekalipun demikian, era Orde Baru
bukanlah salah dalam segala-galanya. Secara obyektif, patut bangsa Indonesia
mengakui bahwa program pemerintah Orde Baru terkadang masih juga bisa dinikmati
bagi kesejahteraan rakyat. Beberapa kebijakan pembangunan dalam kurun Pelita ke
Pelita, juga masih memberikan arti bagi peningkatan kesejahteraan rakyat.
Akhirnya, sangat disayangkan kalau perjalanan Orde Baru kemudian berhenti
dengan tragis, lantaran kebijakan lebih banyak diwarnai untuk pemenuhan
kepentingan negara, pemerintah, keluarga, dan sebuah rezim. Belum lagi,
kecanggihannya dalam ‘membius’ rakyat sehingga mengakibatkan rakyat senantiasa
‘loyal’ karenanya. Pengemasan perjuangan kepentingan kekuasaan pemerintah,
dilakukan dengan sangat rapi, sehingga seakan merupakan perjuangan demi
kepentingan rakyat.
D.
Pemerintahan
Reformasi
Prinsip pokok reformasi di
Indonesia adalah reformasi total. Artinya, bahwa gerakan reformasi diarahkan
pada upaya pembaharuan kehidupan bangsa dan negara menuju kehidupan yang lebih
baik. Cakupan reformasi menyeluruh adalah reformasi moral, politik, sosial, dan
budaya, dalam membongkar budaya feodalistik yang merugikan bagi persatuan dan
kesatuan bangsa.
Cita-cita reformasi senantiasa
ditempatkan pada kerangka landasan kemerdekaan berdasarkan Pancasila dan UUD
1945. Secara demikian, reformasi total dan menyeluruh dipusatkan pada upaya
pembongkaran praktek-praktek hukum atau tatanan praktek kekuasaan, kezaliman,
tradisi serta budaya politik yang merugikan kehidupan bangsa.
Dalam dunia perpolitikan Indonesia,
secara fisik Orde Baru memang telah tergusur dan Soeharto telah jatuh (umumnya
orang mengatakan ‘lengser’). Bersamaan dengan itu, tren kehidupan politik
direformasi total yang sedang berlangsung selama ini. Dunia politik Indonesia
lebih banyak dianalisis secara proporsional. Mulai dari wacana politik, bahasa,
kekuasaan, dan bahkan sampai pada wacana budaya.
Pengalaman pahit bangsa Indonesia,
lewat panggung politik di bawah pemerintahan Orde Baru, mengharuskan bangsa
Indonesia berpikir ulang untuk menyusun format baru dalam menghapus praktek
hegemoni negara, yang menempatkan masyarakat, warga negara dan rakyat pada
posisi yang lemah. Melalui pemerintahan hegemoniknya, Orde Baru telah berhasil
memposisikan dirinya sebagai supremasi kelas yang mampu mendominasi masyarakat
dan menempatkannya sebagai objek pemerintahan (kekuasaan). Pola pemerintahan
Orde Baru memang kental dengan konsep hegemoninya, yakni kepemimpinan
intelektual dan moral (Sparingga, 1997). Praktek pemerintahan Orde Baru yang
dipadu dengan mengandalkan ekstremitas nilai konsensus, juga telah berhasil
memetakan hubungan antara negara dengan warga negara, pemerintah dengan rakyat
sebagai hubungan yang bersifat vertikal dalam posisi sebagai bapak (patron) dan anak (client).
Kini bangsa Indonesia sedang
menatap sebuah kehidupan pasca reformasi menuju masyarakat yang diidamkan,
yaitu masyarakat Indonesia baru. Sebuah masyarakat di mana wacana politik
rakyat (warga negara) harus bisa diterjemahkan identik dengan wacana politik pemerintah
(negara). Persoalan demokratisasi, supremasi hukum, merebaknya isu hak-hak
asasi manusia serta cita-cita membangun civil
society, kiranya telah menjadi sebuah tuntutan yang paling mendesak.
Gagasan pemberdayaan masyarakat, diharapkan agar rakyat memiliki posisi tawar (barginning power) yang sejajar dengan
negara (penguasa). Dia bukanlah agen atau instrumen kekuatan penguasa,
melainkan harus diartikan sebagai mitra negara yang memiliki kedudukan yang
setara.
Dalam menata ulang kehidupan bangsa
ke format yang lebih baik, dibutuhkan bukan saja kerja rekonstruksi politik di
tataran praktis, melainkan juga dekonstruksi wacana dan paradigma yang terbukti
sesat. Untuk itulah masyarakat Indonesia memerlukan lalu lintas gagasan yang
serius dan intens, agar proses dekonstruksi wacana tersebut benar-benar sejalan
dengan kebutuhan demokratisasi.
Zaman pemerintahan reformasi di
bawah kepemimpinan Gus Dur tidak banyak memberikan harapan kepada rakyat.
Banyak kasus kenegaraan dan kemasyarakatan muncul dalam era pemerintah ini,
sehingga tidak saja mencuat dalam kehidupan nasional namun juga sampai merambah
ke dalam kehidupan internasional. Identifikasi persoalan kenegaraan pada zaman
Gus Dur paling tidak dapat dikemukakan beberapa hal sebagai berikut:
1. Rekonstruksi
persepsi dan mekanisme demokrasi dalam tataran elite politik nampak belum
berjalan secara proporsional.
2. Banyak
konflik sosial baik vertikal dan horizontal, sehingga sampai mengancam
kebutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.
3. Realisasi
supremasi hukum nampak tidak berjalan.
4. Dia
terkesan berjalan sendiri walaupun memiliki hak prerogatif.
5. Terkesan
saling ngotot, bahkan mencari benar
sendiri antara DPR/ MPR dan dirinya sebagai presiden.
6. Sering
melontarkan kata-kata yang membingungkan elite politik dan rakyat secara
keseluruhan.
E.
Kaji
Banding Paradigma Hubungan Negara dan Warga Negara (Kasus Orde Baru dan
Pemerintahan Reformasi)
Paradigma yang digunakan dalam
memetakan hubungan negara dan warga negara antara pemerintah Orde Baru dan
pemerintah Reformasi nampak terdapat perbedaan yang berarti. Hubungan negara
dan warga negara pada era Orde Baru banyak diilhami oleh jiwa teori hegemoni,
sedangkan pada era reformasi lebih banyak diilhami oleh teori strukturalisasi
yang dikemukakan oleh Anthony Giddens.
Substansi pokok antara teori
hegemoni (Gramscian) dan teori strukturasi (Giddenian) adalah sama-sama
digunakan sebagai sarana menjembatani problema teoritis tentang hukuman antar
penguasa dengan yang dikuasai, negara dengan masyarakat dari aplikasi teori
sebelumnya. Teori hegemoni digunakan untuk menjembatani konflik kelas penguasa
dan yang dikuasai, yang bersumber pada solusi ekonomi sebagaimana dielaborasi
dari kaum Marxian ortodoks, dan menggesernya ke arah solusi politik, ideologi,
kultural, dan moral. Sementara itu, teori struktural (Giddenian) yang
mengagungkan struktur dan yang mengagungkan tindakan manusia.
Ada beberapa varian yang perlu
dicari perbedaan orientasinya, baik dalam teori hegemoni dan strukturasi,
yaitu:
1.
Varian mengenai posisi negara dan
masyarakat (warga negara).
Dalam pandangan Gramscian, negara (pemerintah)
dipandang berada di atas warga negara (masyarakat). Sedangkan pandangan
Gidderian, negara dipandang memiliki posisi yang sejajar dengan masyarakat atau
warga negara.
2.
Varian yang berkaitan dengan fungsi
norma, ideologi, nilai dan kultural dalam kehidupan masyarakat dan negara.
Dalam pandangan Gramsci, norma-norma politik,
ideologi, kultural, dan moral ditempatkan sebagai instrumen hegemoni. Sedangkan
dalam teori strukteurasi Giddens, norma-norma, ideologi, kultural, dan nilai
moral dimasukkan sebagai unsur struktur yang mampu membingkai praktek sosial.
3.
Varian yang berkaitan dengan pandangan
kedua teori terhadap negara.
Grsmsci memandang konsep negara yang bersifat
integral, dalam arti bahwa negara merupakan hasil gabungan antara masyarakat
politik dan masyarakat sipil. Sementara itu, Giddens tetap memandang antara
negara dan masyarakat sipil mempunyai hubungan yang sejajar.