• About
  • Privacy Policy
  • Disclaimer
  • Contact

College Education

  • Home
  • Info
  • Blogging
  • Downloads
    • Software
    • Games
  • Template Blog
  • Hacking
  • Tech
Home → College → Hubungan Warga Negara dan Negara (Pendidikan Kewarganegaraan)

Hubungan Warga Negara dan Negara (Pendidikan Kewarganegaraan)

Unknown
College
Sunday, 26 April 2015

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Warga negara memiliki peran yang vital bagi keberlangsungan sebuah negara. Oleh karena itu, hubungan antara warga negara dan negara sebagai institusi yang menaunginya memiliki aturan atau hubungan yang diatur dengan peraturan yang berlaku di negara tersebut. Agar dapat memiliki status yang jelas sebagai warga negara, pemahaman akan pengertian, sistem kewarganegaraan serta hal-hal lain yang menyangkut warga negara hendaknya menjadi penting untuk diketahui. Dengan memiliki status sebagai warga negara, orang memiliki hubungan dengan negara.
Masalah Warga negara dan Negara perlu dikaji lebih jauh, mengingat Demokrasi yang ingin ditegakkan adalah Demokrasi berdasarkan Pancasila. Aspek yang terkandung dalam Demokrasi Pancasila antara lain adalah adanya kaidah yang mengikat Negara dan Warga negara dalam bertindak dan menyelenggarakan hak dan kewajiban serta wewenangnya. Secara material adalah mengakui harkat dan martabat Manusia sebagai makhluk Tuhan, yang menghendaki Pemerintahan untuk membahagiakannya, dan memanusiakan Warga negara dalam Masyarakat Negara dan masyarakat bangsa-bangsa.

B.       RUMUSAN  MASALAH
1.      Apa yang dimaksud dengan Peta Normatif Hubungan Negara dan Warga Negara ?
2.      Apa itu Legitimasi dan Korporatisasi Negara ?
3.      Apa yang dimaksud dengan Negara dan Warga Negara (Refleksi Masa Orde Baru) ?
4.      Apa itu Pemerintahan Reformasi ?
5.      Apa itu Kaji Banding Paradigma Hubungan Negara dan Warga Negara (Kasus Orde Baru dan Pemerintahan Reformasi) ?

C.      TUJUAN
1.      Untuk mengetahui Peta Normatif Hubungan Negara dan Warga Negara
2.      Untuk mengetahui Legitimasi dan Korporatisasi Negara
3.      Untuk mengetahui Negara dan Warga Negara (Refleksi Masa Orde Baru)
4.      Untuk mengetahui Pemerintahan Reformasi
5.      Untuk mengetahui Kaji Banding Paradigma Hubungan Negara dan Warga Negara (Kasus Orde Baru dan Pemerintahan Reformasi)

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Peta Normatif Hubungan Negara dan Warga Negara
Konsep hubungan antara warga negara dengan negara masih sering menimbulkan persoalan yang bersifat dilematis. Hubungan antara warga negara dan negara juga kerap kali dipersepsikan dalam bahasa yang ‘latah’. Apakah dalam proses hubungan itu negara harus berada di atas warga negara ataukah justru menempatkan keduanya dalam hubungan kesejajaran. Apakah negara harus mencampuri urusan asasi warga negara ataukah sebuah perlakuan yang ‘ditabukan’.
Dalam wacana Pendidikan Kewarganegaraan, negara harus diposisikan sejajar dengan warga negaranya. Masyarakat (warga negara) tidak dilawankan dengan negara, akan tetapi justru dipersepsikan sebagai ‘mitra’ hubungan antara keduanya. Selama negara masih berada di atas warga negara atau masyarakat, maka hubungan antara keduanya tidak akan bisa berlangsung secara harmonis. Padahal, keharmonisan ini menjadi kata kunci yang menentukan segala-galanya.
Dalam hal itu, Gouldner (1998) menegaskan bahwa hubungan antara masyarakat dan negara tidak selalu selamanya berkonotasi normatif, tetapi juga bersifat empirik. Secara normatif, bahwa hubungan negara dan warga negara harus selalu berpegang pada hak dan kewajiban yang melekat antara keduanya, sehingga proses dialogisnya berlangsung secara demokratis, adil, dan harmonis dengan bersandar pada norma yang dipersyaratkan oleh konstitusi. Sedangkan secara empirik bisa jadi justru melanggar norma bangsa dan negara yang telah disepakati bersama.
Untuk membangun hubungan antara negara dengan warga negara secara adil dan berimbang, normatif dan etik, dapat ditempuh dengan langkah-langkah berikut:
1.        Inventarisasi variabel yang melekat pada diri warga negara;
2.        Inventarisasi variabel yang melekat pada organisasi negara;
3.        Menghubungkan variabel yang melekat pada diri warga negara dengan variabel yang melekat pada organisasi negara;
4.        Mempersepsikan hubungan kedua variabel (warga negara dan negara) identik dengan hubungan hak dan kewajiban antara keduanya; dan
5.        Menara dasar norma sebagai ‘pembenar’ hubungan antara warga negara dengan negara, yang bersumber dari jiwa dan nilai-nilai konstitusi.
Hubungan negara dan warga negara tidak berlangsung menurut gradasi (tingkatan) yang vertikal, melainkan menjadi hubungan yang sederajat. Masing-masing memiliki nilai fungsional sendiri dan terjalin secara interaktif dalam pemetaan secara sistematik. Negara tidak dibenarkan mendominasi warga negara, begitu juga warga negara tidak dibenarkan secara anarkis menjatuhkan negara.

B.       Legitimasi dan Korporatisasi Negara
Hubungan antara negara (pemerintah) dengan warga negara (rakyat atau masyarakat) berkaitan dengan persoalan ‘pengakuan’ antara dua komponen itu. Ditilik dari sisi negara, maka legitimasi merupakan penerimaan dan pengakuan masyarakat (yang pimpin) terhadap negara atau hak-hak yang memimpin (Surbakti, 1992). Oleh sebab itu, legitimasi selalu mempersoalkan sikap masyarakat atas kewenangan pemerintah dalam membuat dan melaksanakan keputusan politiknya. Jika masyarakat menerima hak dan wewenang pemerintah untuk aktivitas itu, berarti negara (pemerintah) telah mendapatkan legitimasi dari masyarakat. Sedangkan dari sisi masyarakat, legitimasi muncul lebih banyak berkaitan dengan persoalan pengakuan atas hak-hak yang melekat pada komunitas sosial masyarakat atau warga negara.
Legitimasi selain diperlukan oleh negara juga diperlukan oleh masyarakat dan sistem politik secara keseluruhan. Dalam kaitan ini, Andrain (dalam Surbakti, 1992), menyebutkan lima obyek sasaran legitimasi, yakni: komunitas politik, hukum, lembaga politik, pemimpin politik dan kebijakan. Kelima obyek tersebut memiliki hubungan secara kumulatif dan hierarkis. Artinya, jika obyek yang pertama tidak mendapatkan dukungan dari masyarakat, maka obyek-obyek berikutnya juga tidak akan mendapatkan dukungan.
Dalam mendapatkan atau mempertahankan legitimasinya dari masyarakat, negara senantiasa melakukan serangkaian upaya untuk mencapai tujuan tersebut. Dengan berbagai cara, negara bisa memanfaatkan potensi masyarakat sebagai instrumen legitimasinya. Dengan demikian terjadilah korporatisasi negara terhadap masyarakat. Pada umumnya, cara-cara memperoleh legitimasi dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu dengan cara simbolis, cara prosedural dan dengan cara material. Cara pertama, dilakukan dengan memanipulasi kecenderungan-kecenderungan moral, emosional, tradisi, kepercayaan, dan nilai-nilai budaya yang pada umumnya dalam bentuk simbol. Cara kedua, dilakukan dengan menyelenggarakan pemilihan umum untuk menentukan wakil-wakil rakyat, presiden dan wakil presiden, dan para anggota para lembaga tinggi lainnya serta referendum untuk mengesahkan kebijakan umum. Cara ketiga, dilakukan dengan menjanjikan atau memberikan kesejahteraan material kepada masyarakat, seperti jaminan tersedianya kebutuhan dasar (basic needs), fasilitas kesehatan dan pendidikan, sarana komunikasi transportasi, sarana ibadah, seni dan hiburan dan sebagainya.
Sementara itu, korporatisasi lebih banyak berlatar dari kondisi sebuah masyarakat yang bersifat pluralistis. Dalam pandangan pluralis, suatu masyarakat terdiri dari kelompok-kelompok kepentingan (interest group) yang diawasi oleh negara. Inisiatif dan gaya gerak masyarakat berasal dari kelompok-kelompok yang dijalankan oleh pihak swasta. Dalam pandangan korporatis, negara tetap dinomorsatukan, dan kepentingan kelompok ditentukan berdasarkan hubungannya dengan negara. Di samping itu, kaum korporatis beranggapan bahwa hubungan antara negara dan kelompok kepentingan dalam masyarakat itu dibentuk oleh hubungan tukar-menukar dengan negara.
Menurut Schmitter, sebagaimana dikutip oleh Maswadi Rauf (dalam Budiardjo, 1996), korporatisasi mengandung unsur-unsur : (1) sistem perwakilan rakyat; (2) pengorganisasian kelompok-kelompok kepentingan dalam jumlah yang kecil oleh negara dengan sifat non-kompetitif dan berbeda secara fungsional; (3) organisasi-organisasi tersebut diakui, diberi izin atau bahkan dibentuk oleh negara; (4) pemberian monopoli untuk mewakili anggota-anggota; dan (5) adanya kepatuhan kepada penguasa politik yang menentukan pimpinan organisasi dan artikulasi serta dukungannya.
Dengan korporatisasi, peranan negara nampak besar terutama dalam menggalang kerja sama dengan berbagai kelompok kepentingan di dalam masyarakat. Hal ini lebih menampakkan adanya tradisi demokrasi, khususnya tugas negara dalam menghormati hak-hak bagi kelompok kepentingan dalam masyarakat. Ketiadaan tradisi demokrasi akan melahirkan dominasi negara, dan pada gilirannya mendorong negara untuk mempersempit kebebasan bagi organisasi-organisasi di dalam masyarakat. Itulah sebabnya, berbagai kelompok kepentingan yang muncul di dalam masyarakat perlu dirangkul oleh negara agar tuntutan-tuntutan mereka tidak menimbulkan konflik, gangguan stabilitas dan politik.
Dalam pandangan Pendidikan Kewarganegaraan , korporatisasi masih diperlukan lebih-lebih bagi masyarakat Indonesia yang serba majemuk. Namun demikian, ketika negara ingin mengadakan hubungan dengan masyarakat, warga negara dan rakyat, nuansa korporatisasi hendaknya selalu diberi label, ‘bukan dominasi’ akan tetapi harus berlangsung lewat ‘dialogis secara mendalam’. Hal ini berarti, korporatisasi negara tidak lagi menggunakan pendekatan ‘gradasional’ (bertingkat) akan tetapi lebih ditekankan pada hubungan yang bersifat ‘kemitraan dan kesejajaran’. Negara juga lebih banyak memberikan kebebasan pada masyarakat (civil society) untuk lebih berdaya. Jadi dalam Pendidikan Kewarganegaraan diharapkan adanya saling memberdayakan dan memberadabkan antara negara dan warga negara (empowering and civilizing).

C.      Negara dan Warga Negara (Refleksi Masa Orde Baru)
Tumbangnya pemerintahan Orde Lama, yang disusul dengan lahirnya pemerintahan Orde Baru, pada awalnya memang diharapkan mampu membawa kehidupan politik bangsa ini ke arah angin segar. Sebuah orde pemerintahan yang dirancang dan menempatkan dirinya sebagai korektor total terhadap segala penyelewengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dari posisi proporsionalnya, yakni sebagai landasan pembangunan di segala bidang.
Dengan slogan ‘Pembangunan yes’ dan ‘politik no’, Orde Baru bertekat akan mengantarkan potensi rakyat sebagai modal dalam pembangunan nasional. Pembangunan ekonomi ditempatkannya sebagai ‘spektrum sentral’, dan sementara itu konsep ‘politik sebagai panglima’ tampak diabaikan. Selain itu, Orde Baru telah mampu memotret dirinya sebagai ‘Orde Pembangunan’ yang memiliki komitmen dalam menegakkan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Logika pembangunan pada gilirannya juga digunakan sebagai upaya penekanan arti penting persatuan dan kesatuan bangsa dan stabilitas nasional. Lebih tajam lagi, bahwa untuk menciptakan persatuan nasional hanya mungkin dilakukan di bawah kepemimpinan nasional.
Dalam kaitan itu, paradigma pembangunan pada masa Orde Baru di peta sedemikian rupa, di mana negara (pemerintah) bertanggung jawab sebagai ‘patron’ (bapak) dan warga negara (rakyat) dipandang sebagai ‘client’ (anak). Realita ini pada dasarnya merupakan indikator adanya praktek perspektif kultural Jawa (terutama konsep ‘momong’ dan ‘momongan’) yang diformatkan dalam politik Orde Baru. Dengan konsep ‘momong’, berarti negara (pemerintah) akan melakukan tugas untuk menjaga dengan penuh kasih sayang; sedangkan konsep ‘momongan’ mengungkapkan tugas dan tanggung jawab yang lebih berat pada subyek yang ‘diemong’ (diasuh). Konsep-konsep ini, relevan dengan konsep kepemimpinan nasional yang dikembangkan oleh Orde Baru saat itu.
Gagas pemerintahan dan kepemimpinan nasional Orde Baru tersebut, ternyata dalam prakteknya justru banyak mengecewakan rakyat. Hal ini disebabkan oleh solusi pemerintah dan pembangunan bukan lagi diarahkan demi kesejahteraan rakyat banyak, akan tetapi nampak sebaliknya yang mengarah pada kepentingan partai pemerintah, golongan, rezim, keluarga serta pemerintah itu sendiri.
Lebih parah lagi, Orde Baru membangun sebuah strategi kepemimpinan moral dan intelektual yang sangat ‘canggih’ lewat pemerintahan ‘hegemoni’ yang dipadu dengan kekuatan militer. Itulah sebabnya , tidak jarang jika ada warga negara yang melancarkan kritik terhadap kebijakan pemerintah, dianggap mengganggu stabilitas politik dan keamanan nasional. Dan karena itu, cara-cara ‘gebug’, ‘sikat’, ‘libas’, ‘tangkap’, ‘OTB’, ‘subversif’ dan sebangsanya pasti akan muncul. Kritik apa pun yang dilancarkan oleh masyarakat, memang dirasakan tidak pernah mendapat tempat dalam pemerintahan Orde Baru.
Selain itu, dalam tataran birokrasi, Orde Baru lebih banyak menampakkan pemerintahan yang sentralistis. Hal ini nampak dalam pola pengambilan keputusan elite politik di tingkat atas, yang menempatkan pemegang posisi puncak kekuatan yang sangat dominan. Misalnya dalam upaya pengorbitan ‘konsensus nasional’ mengenai asas tunggal Pancasila, tidak menampung aspirasi arus bawah. Dampak dari aplikasi konsep kekuasaan seperti itu, akan melahirkan budaya ‘ewuh-pakewuh’ di kalangan elite dan celakanya juga bagi seluruh warga negara Indonesia.
Kondisi demikian, nampaknya sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Orde Baru sudah sangat jauh menghegemoni seluruh potensi bangsa yang tidak menguntungkan demokratisasi dan hak-hak asasi manusia. Rakyat sudah tidak sabar lagi membiarkan hal itu semakin panjang. Akhirnya, lewat Gerakan Reformasi Total, yang banyak digulirkan oleh mahasiswa, akademisi, aktivis politik, dan HAM serta LSM dan sebagainya, maka pada tanggal 21 Mei 1998, presiden Soeharto jatuh, dan turun dari ‘singgasana’ kepresidenannya.
Kinerja pemerintah yang diteruskan oleh ‘pemerintahan transisi’ yang dipimpin oleh Habibie, nampak juga tidak diterima oleh rakyat, lantaran agenda pemerintahannya masih menggunakan gaya lama dan selalu berada di bawah bayang-bayang Orde Baru. Kesalahan yang paling fatal oleh pemerintahan ini, lepasnya wilayah Timor Timur dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang secara politis dan finansial banyak merugikan negara dan bangsa kita. Sebagai klimaksnya, Habibie terpaksa harus menerima untuk berhenti di tengah jalan, akibat laporan pertanggungjawabannya ditolak dalam sidang MPR hasil Pemilu 1999. Presiden terpilih selanjutnya adalah Abdurrahman Wahid, yang duet dengan ‘saudaranya’, yaitu Megawati Soekarno Putri sebagai wakil presiden.
Sekalipun demikian, era Orde Baru bukanlah salah dalam segala-galanya. Secara obyektif, patut bangsa Indonesia mengakui bahwa program pemerintah Orde Baru terkadang masih juga bisa dinikmati bagi kesejahteraan rakyat. Beberapa kebijakan pembangunan dalam kurun Pelita ke Pelita, juga masih memberikan arti bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Akhirnya, sangat disayangkan kalau perjalanan Orde Baru kemudian berhenti dengan tragis, lantaran kebijakan lebih banyak diwarnai untuk pemenuhan kepentingan negara, pemerintah, keluarga, dan sebuah rezim. Belum lagi, kecanggihannya dalam ‘membius’ rakyat sehingga mengakibatkan rakyat senantiasa ‘loyal’ karenanya. Pengemasan perjuangan kepentingan kekuasaan pemerintah, dilakukan dengan sangat rapi, sehingga seakan merupakan perjuangan demi kepentingan rakyat.

D.      Pemerintahan Reformasi
Prinsip pokok reformasi di Indonesia adalah reformasi total. Artinya, bahwa gerakan reformasi diarahkan pada upaya pembaharuan kehidupan bangsa dan negara menuju kehidupan yang lebih baik. Cakupan reformasi menyeluruh adalah reformasi moral, politik, sosial, dan budaya, dalam membongkar budaya feodalistik yang merugikan bagi persatuan dan kesatuan bangsa.
Cita-cita reformasi senantiasa ditempatkan pada kerangka landasan kemerdekaan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Secara demikian, reformasi total dan menyeluruh dipusatkan pada upaya pembongkaran praktek-praktek hukum atau tatanan praktek kekuasaan, kezaliman, tradisi serta budaya politik yang merugikan kehidupan bangsa.
Dalam dunia perpolitikan Indonesia, secara fisik Orde Baru memang telah tergusur dan Soeharto telah jatuh (umumnya orang mengatakan ‘lengser’). Bersamaan dengan itu, tren kehidupan politik direformasi total yang sedang berlangsung selama ini. Dunia politik Indonesia lebih banyak dianalisis secara proporsional. Mulai dari wacana politik, bahasa, kekuasaan, dan bahkan sampai pada wacana budaya.
Pengalaman pahit bangsa Indonesia, lewat panggung politik di bawah pemerintahan Orde Baru, mengharuskan bangsa Indonesia berpikir ulang untuk menyusun format baru dalam menghapus praktek hegemoni negara, yang menempatkan masyarakat, warga negara dan rakyat pada posisi yang lemah. Melalui pemerintahan hegemoniknya, Orde Baru telah berhasil memposisikan dirinya sebagai supremasi kelas yang mampu mendominasi masyarakat dan menempatkannya sebagai objek pemerintahan (kekuasaan). Pola pemerintahan Orde Baru memang kental dengan konsep hegemoninya, yakni kepemimpinan intelektual dan moral (Sparingga, 1997). Praktek pemerintahan Orde Baru yang dipadu dengan mengandalkan ekstremitas nilai konsensus, juga telah berhasil memetakan hubungan antara negara dengan warga negara, pemerintah dengan rakyat sebagai hubungan yang bersifat vertikal dalam posisi sebagai bapak (patron) dan anak (client).
Kini bangsa Indonesia sedang menatap sebuah kehidupan pasca reformasi menuju masyarakat yang diidamkan, yaitu masyarakat Indonesia baru. Sebuah masyarakat di mana wacana politik rakyat (warga negara) harus bisa diterjemahkan identik dengan wacana politik pemerintah (negara). Persoalan demokratisasi, supremasi hukum, merebaknya isu hak-hak asasi manusia serta cita-cita membangun civil society, kiranya telah menjadi sebuah tuntutan yang paling mendesak. Gagasan pemberdayaan masyarakat, diharapkan agar rakyat memiliki posisi tawar (barginning power) yang sejajar dengan negara (penguasa). Dia bukanlah agen atau instrumen kekuatan penguasa, melainkan harus diartikan sebagai mitra negara yang memiliki kedudukan yang setara.
Dalam menata ulang kehidupan bangsa ke format yang lebih baik, dibutuhkan bukan saja kerja rekonstruksi politik di tataran praktis, melainkan juga dekonstruksi wacana dan paradigma yang terbukti sesat. Untuk itulah masyarakat Indonesia memerlukan lalu lintas gagasan yang serius dan intens, agar proses dekonstruksi wacana tersebut benar-benar sejalan dengan kebutuhan demokratisasi.
Zaman pemerintahan reformasi di bawah kepemimpinan Gus Dur tidak banyak memberikan harapan kepada rakyat. Banyak kasus kenegaraan dan kemasyarakatan muncul dalam era pemerintah ini, sehingga tidak saja mencuat dalam kehidupan nasional namun juga sampai merambah ke dalam kehidupan internasional. Identifikasi persoalan kenegaraan pada zaman Gus Dur paling tidak dapat dikemukakan beberapa hal sebagai berikut:
1.    Rekonstruksi persepsi dan mekanisme demokrasi dalam tataran elite politik nampak belum berjalan secara proporsional.
2.    Banyak konflik sosial baik vertikal dan horizontal, sehingga sampai mengancam kebutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.
3.    Realisasi supremasi hukum nampak tidak berjalan.
4.    Dia terkesan berjalan sendiri walaupun memiliki hak prerogatif.
5.    Terkesan saling ngotot, bahkan mencari benar sendiri antara DPR/ MPR dan dirinya sebagai presiden.
6.    Sering melontarkan kata-kata yang membingungkan elite politik dan rakyat secara keseluruhan.

E.       Kaji Banding Paradigma Hubungan Negara dan Warga Negara (Kasus Orde Baru dan Pemerintahan Reformasi)
Paradigma yang digunakan dalam memetakan hubungan negara dan warga negara antara pemerintah Orde Baru dan pemerintah Reformasi nampak terdapat perbedaan yang berarti. Hubungan negara dan warga negara pada era Orde Baru banyak diilhami oleh jiwa teori hegemoni, sedangkan pada era reformasi lebih banyak diilhami oleh teori strukturalisasi yang dikemukakan oleh Anthony Giddens.
Substansi pokok antara teori hegemoni (Gramscian) dan teori strukturasi (Giddenian) adalah sama-sama digunakan sebagai sarana menjembatani problema teoritis tentang hukuman antar penguasa dengan yang dikuasai, negara dengan masyarakat dari aplikasi teori sebelumnya. Teori hegemoni digunakan untuk menjembatani konflik kelas penguasa dan yang dikuasai, yang bersumber pada solusi ekonomi sebagaimana dielaborasi dari kaum Marxian ortodoks, dan menggesernya ke arah solusi politik, ideologi, kultural, dan moral. Sementara itu, teori struktural (Giddenian) yang mengagungkan struktur dan yang mengagungkan tindakan manusia.
Ada beberapa varian yang perlu dicari perbedaan orientasinya, baik dalam teori hegemoni dan strukturasi, yaitu:
1.        Varian mengenai posisi negara dan masyarakat (warga negara).
Dalam pandangan Gramscian, negara (pemerintah) dipandang berada di atas warga negara (masyarakat). Sedangkan pandangan Gidderian, negara dipandang memiliki posisi yang sejajar dengan masyarakat atau warga negara.
2.        Varian yang berkaitan dengan fungsi norma, ideologi, nilai dan kultural dalam kehidupan masyarakat dan negara.
Dalam pandangan Gramsci, norma-norma politik, ideologi, kultural, dan moral ditempatkan sebagai instrumen hegemoni. Sedangkan dalam teori strukteurasi Giddens, norma-norma, ideologi, kultural, dan nilai moral dimasukkan sebagai unsur struktur yang mampu membingkai praktek sosial.
3.        Varian yang berkaitan dengan pandangan kedua teori terhadap negara.
Grsmsci memandang konsep negara yang bersifat integral, dalam arti bahwa negara merupakan hasil gabungan antara masyarakat politik dan masyarakat sipil. Sementara itu, Giddens tetap memandang antara negara dan masyarakat sipil mempunyai hubungan yang sejajar.
  • Share This Article

  • Facebook

  • Twitter

  • Google+

Newer Post
Older Post
Home

Search here!

Popular Posts

Labels

  • Blogging
  • College
  • Story
Powered by Blogger.

Subscribe

About

Unknown
View my complete profile

Pages

  • Home
  • Blogging
  • College
  • Story

Blog Archive

  • ►  2016 (8)
    • ►  April (8)
  • ▼  2015 (5)
    • ▼  April (5)
      • Kedudukan PKN dalam Sistem Pendidikan Nasional
      • Hubungan Warga Negara dan Negara (Pendidikan Kewar...
      • Membuat Auto Read More
      • Posting Ora Penting
      • Cara Mempercantik Dan Memperindah Tampilan Blog
Copyright 2015 College Education Template By All Blog Things